Minggu, 11 Oktober 2009

JURNAL PENDIDIKAN DAN EKONOMI








2.

PENGEMBANGAN KREATIFITAS SENI SISWA MELALUI PEMBELAJARAN

SENI RUPA DI SD/MI SE KABUPATEN TANGERANG

Nanang Ebi Wasono (nebi@mail.ut.ac.id)

Evan Sukardi S (evan@mail.ut.ac.id)

Universitas Terbuka

ABSTRACT

The Arts subject is included in the 2004 Competence-based Curriculum for elementary school level. The researchers conducted a study on the teachers’ ways of promoting students’ creativity in the teaching of arts, in the topics of art drawing and painting, also comprising the material selection, themes, methods, techniques, and media. The study aimed at portraying the teachers’ practices in selecting and applying materials, themes, methods, media and techniques in the teaching of arts in elementery school level in Tangerang. The results of the study were: (1) The teaching materials of the arts subject in elementary schools which promoted students’ creativity was materials of painting. (1) The themes of drawing and painting activities which promoted students’ creativity were those related to the students’ environment because these themes were easier to find than those of their own creation or of the teachers’ or councelors’ recommendations. (2) It was found that demonstration was the major method of drawing and painting activities which promoted students’ creativity. (3) Media that were conventionally applied were water color, pastel crayon, oil maker, water maker. (4) The painting and dwawing techniques applied by the students were still conventional, however few of them non nonventional.

Keywork: arts, creativity.

Pendidikan kesenian (seni rupa) sampai saat ini masih tergabung dalam Mata Pelajaran

Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kurikulum Pendidikan Dasar, 1994). Pelaksanaan mata pelajaran ini bertujuan meningkatkan kreativitas, sensitivitas, perasaan, dan kemampuan keterampilan berkarya. Pendidikan seni rupa memiliki karakteristik yang menuntut siswa agar memiliki kemampuan afektif melalui pelatihan psikomotorik. Siswa dilatih memiliki perasaan estetika dan emosi artistic melalui kegiatan berkarya seni.

Pelaksanaan pendidikan seni rupa di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang cenderung belum menunjukkan adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan arah tujuan yang dikehendaki secara meluas setelah terjadi perubahan bidang studi Pendidikan Kesenian menjadi Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK).

Persepsi mengenai tujuan, metode pembinaan serta materinya semakin jauh dari makna pendidikan kesenian. Apakah gejala ini disebabkan oleh cara guru memahami kurikulum atau karena guru kurang suka mempelajari bagaimana menilai karya seni sehingga cenderung meninggalkan dasar pembinaan tentang seni: ekspresi, kreativitas, sensitivitas yang menuju kepada perolehan hasil atau keterampilan. Selama ini dalam menilai karya seni rupa anak (lukisan/gambar) guru selalu melihat hasil akhir, bahkan cenderung subjektif. Padahal seharusnya dalam menilai karya anak sebaiknya melihat secara komprehensif, yaitu perkembangan anak dalam berseni, proses dalam berkarya seni, dan portofolio anak dalam seni. Mas Ayu’s (2007), mengatakan bahwa ”Evaluasi lebih menekankan pada aspek proses pengajaran dengan mengukur adanya berbagai gejala perubahan, termasuk perubahan nilai”.

Penelitian tentang peningkatan kreativitas melalui pembelajaran ini dimaksudkan untuk

memperoleh gambaran tentang materi, tema, metode, media, dan teknik berkarya yang dapat mengembangkan kreativitas siswa. Pemilihan setting di sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) pada Dinas Pendidikan Nasional di Kabupaten Tangerang memiliki alasan bahwa, Kabupaten Tangerang merupakan bagian dari Propinsi Banten sebagai kota pendidikan yang akan menghasilkan ilmuwan yang tidak hanya memiliki wawasan keilmuan tetapi juga memiliki sensitivitas, perasaan yang halus, budaya estetika dan naluri-naluri dasar kemanusian. Untuk menjadikan Kabupaten Tangerang sebagai kota Pendidikan sangat diperlukan dukungan dari calon ilmuwan, budayawan, seniman dan, teknokrat yang andal.

Sesuai dengan gambaran seperti yang disebutkan di atas maka dirumuskan masalahmasalah sebagai berikut: Bagaimanakah jenis materi pembelajaran seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis yang sesuai dengan pengembangan kreativitas siswa pada Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang? Bagaimanakah memilih metode pembelajaran yang dapat membangkitkan ekspresi siswa dalam pembelajaran seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis pada Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang? Tema-tema apa saja yang mampu memberikan stimulasi untuk berkarya kreatif siswa pada Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Dinas Pendidikan Nasonal Kabupaten Tangerang? Media apa saja yang banyak memberikan alternatif pengembangan kreativitas siswa pada Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang? Bagaimanakah teknik berkarya yang dapat digunakan siswa dalam pembelajaran seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis sehingga dapat mengembangkan kreativitas siswa pada Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang?

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang: (1) kesesuaian pembelajaran seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis yang sesuai dengan pengembangan kreativitas siswa; (2) tema-tema apa yang mampu memberikan stimulasi siswa untuk berkarya kreatif pada pembelajaran seni rupa dalam pokok bahasan menggambar/melukis; (3) metode pembelajaran seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis yang mampu membangkitkan kreativitas siswa; (4) media apa yang banyak memberikan alternatif pengembangan kreativitas siswa; serta (5) teknik berkarya yang dapat digunakan siswa sehingga dapat mengembangkan kreativitas siswa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di lingkungan Dinas Nasional Pendidikan Kabupaten Tangerang.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa: (1) sumbangan yang positif bagi dunia pendidikan (khususnya melalui mata pelajaran KTK). Pemahaman terhadap materi, tematema, metode, media, dan teknik pembelajaran memungkinkan guru mampu mengembangkan kreativitas siswa dalam berkarya seni rupa melalui kegiatan menggambar/melukis; (2) masukan mengenai pelaksanaan pembelajaran pendidikan seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis siswa sekolah dasar, dengan materi, tema, metode, media, dan teknik yang tepat dalam mengembangkan kreativitas siswa sekolah dasar di Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang; (3) model pembelajaran kreativitas melalui pembelajaran seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang.

Konsep pendidikan seni menurut Sudarso (1974), adalah bahwa seni harus berbasis

pendidikan. Pendidikan merupakan pembinaan perkembangan, yang akan terlihat dari ungkapan ekspresi yang dihasilkan. Pendidikan lewat seni merupakan pembinaan cara-cara berekspresi, seni bukan merupakan tujuan, tetapi merupakan sarana sebagai media, proses untuk melaksanakan pendidikan. Dalam pendidikan seni rupa dapat ditunjukkan adanya:

1. substansi ekspresi yang menggambarkan kesenangan, harapan yang menitikberatkan pada ungkapan perasaan;

2. substansi keterampilan yang menitikberatkan pada kemampuan teknis, ke-tepatan reproduksi, kerapian, dan kecekatan; serta

3. substansi kreasi yang menitikberat-kan pada bidang latihan, yaitu menciptakan bentuk-bentuk seni terapan, menyusun benda-benda menjadi karya seni dan menciptakan sesuatu yang baru.

Selanjutnya Ki Hajar Dewantara menyatakan dalam (Nurhadiat, 1999). “Seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia” (hal.14). ”Prof.Dr. Suwaji Bastomi (dalam Nurhadiat, 1999).

“Seni adalah aktivitas batin dengan pengalaman estetika yang dinyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai daya membangkitkan rasa takjub dan haru. Agung merupakan pengejawantahan pribadi kreatif yang telah matang. Takjub adalah getaran emosi yang terjadi karena adanya rangsangan yang kuat dari sesuatu yang agung, sedang haru adalah rasa yang dimiliki atau dimulai dari simpati dan empati yang kemudian dilebur menjadi terpesona dan akhirnya memuncak menjadi haru” (hal.14). Sudarmadji (dalam Nurhadiat, 1999). “Seni adalah manifestasi batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media garis, bidang, warna, tekstur, volume dan gelap terang” (hal.14).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seni adalah semua karya yang

dibuat oleh manusia secara sadar dan dapat mempengaruhi orang lain melalui nilai estetisnya,

sehingga orang lain tertarik bahkan mengagumi keindahannya. Rodowski (1984) menyatakan ”Seni berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir, salah satu ujud pelatihan seni adalah menangkap secara indrawi objek secara komprehensif kemudian dinyatakan dalam bentuk karya seni” (hal.11). Hiruk pikuknya keramaian pasar akan dilukis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Pendidikan seni bermanfaat melatih kemampuan telaah sehingga komprehensif matematika tinggi.

Seni sebagai alat bermain, hal ini dikemukakan oleh Kadir (1973), ”bahwa anak-anak berseni sekaligus bermain, sehingga anak merasa senang karena tercurah segala gejolak jiwanya” (hal.2). Di samping sebagai alat bermain, seni juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial, menghasilkan sesuatu yang bernilai guna bermanfaat untuk kemaslahatan manusia. Berkaitan dengan nilai guna ini, seniman dituntut untuk lebih kreatif, menggunakan seni sebagai media pengembangan kreativitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seni juga berfungsi untuk pengembangan bakat, ” Art is a way to become a creative person” (Linderman & Herberholz, 1979).

Manfaat Pendidikan Seni bagi anak seperti dikemukakan oleh Soehardjo (1977). “Seni

membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, membantu perkembangan estetik, membantu

menyempurnakan kehidupan.... meningkatkan pertumbuhan fisik, mental, estetika.... membina

imajinasi kreatif, memberi sumbangan kearah pemecahan masalah, memberikan sumbangan

perkembangan kepribadian” (hal.13).

Menghayati alam, melihat pameran seni, berkarya seni, membahas karya seni merupakan suatu bentuk berolah seni yang membina kearah pengalaman estetika, sehingga anak akan berkembang fungsi-fungsi jiwanya.

METODOLOGI

Studi tentang bagaimana menghasilkan kreativitas siswa SD dalam pembelajaran seni dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hal-hal yang didiskripsikan adalah: materi berkarya, tema berkarya, metode berkarya, media berkarya, dan teknik berkarya seni menggambar/melukis yang dapat membangkitkan kreativitas anak secara kualitatif.

Populasi dalam penelitian ini adalah Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Negeri maupun Swasta yang berada di Wilayah Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang yang mempunyai prestasi umum. Sampel Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang ada di seluruh Lingkungan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang yang terdiri dari tujuh belas Kecamatan, yaitu Kecamatan: Serpong, Cisauk, Sukadiri, Cibodas, Mauk, Balaraja, Pondok Aren, Pakuhaji, Pasar Kemis, Kronjo, Kresek, Ciputat, Tigaraksa, Cikupa, Rajeg, Teluk Naga, dan Kosambi. Setiap Kecamatan diambil satu sampai dengan dua sekolah, yang masing-masing sekolah diambil satu kelas, dan dalam satu kelas diambil dua karya siswa secara acak.

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan kegiatan observasi yang

dilakukan di dalam dan di luar kelas selama pembelajaran berlangsung. Instrumen pengumpul data berupa lembar observasi. Kedua melalui pengumpulan dokumen-dokumen yang berupa

gambar/lukisan dari hasil karya yang dibuat pada waktu observasi dengan cara pemberian tugas menggambar/melukis oleh guru dan peneliti yang berada dalam kelas.

Penganalisisan data diambil dari hasil observasi diklasifikasikan berdasarkan kelas dan hasil yang sama, guna menguji kebenarannya maka diadakan cross check dengan dokumentasi karyakarya siswa, kemudian dibahas berdasarkan kajian teori yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil analisis data diperoleh hasil penelitian berkaitan dengan metode, teknik, pengelolaan kelas, dan aktivitas siswa sebagai berikut. Metode yang digunakan yaitu metode dramatisasi, karyawisata, ceramah, dan demonstrasi. Teknik berkaryanya bersifat konvensional yaitu teknik kering dengan menggunakan krayon pastel. Kelas dikelola secara klasikal dan individu dengan pendekatan integratif antarpelajaran. Kegiatan anak diwarnai tingkah laku yang ramai tetapi tetap menjunjung proses pembelajaran yang direncanakan.

Sehubungan dengan proses pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut.

(1) Rangsangan yang digunakan berupa pengamatan langsung bagi siswa terhadap objek alam, cerita guru dan model. Dalam menggambar, siswa masih sering ada gejala menggambar dua gunung dengan matahari terbit di tengah-tengah; anak berhenti tidak dapat mengungkapkan ekspresinya; dan tidak membawa bahan maupun alat. Tidak jarang waktu yang seharusnya untuk mata pelajaran kesenian (menggambar) dipergunakan untuk pelajaran lain. Hal ini disebabkan karena guru tidak mampu menggambar atau dikarenakan bahwa pelajaran menggambar dianggap tidak penting, pelajaran yang di-UAN-kan dianggap lebih penting. Pembahasan karya dilakukan oleh guru beserta siswa pada akhir pertemuan dan hasil karya yang dianggap baik oleh guru dikoleksikan di sekolah (dipasang di dinding kelas).

(2) Pembelajaran menggambar/melukis dengan menggunakan teknik, metode, tema, materi, dan pendekatan yang tidak sama satu dengan yang lain. Tema-tema yang digunkan adalah suasana sekitar sekolah, flora dan fauna, peristiwa di lingkungan siswa, suasana kebun binatang, pasar tradisional dan modern, perayaan hari besar dan lain-lain. Sedangkan media yang digunakan adalah kertas gambar, cat air, krayon pastel, spidol, pensil, kuas dan lain-lain. Metode yang digunakan adalah metode tanya jawab, ceramah, demonstrasi, dan karya wisata. Teknik berkarya teknik basah (cat air, spidol), dan teknik kering (krayon pastel, pensil berwarna, arang).

(3) Gejala yang muncul pada pelaksanaan pembelajaran dengan pokok bahasan ini siswa memiliki berbagai gaya dalam corak lukisannya, diantaranya dekoratif, realis, bahkan ada yang

ekspresif, bahkan dalam kegiatan pembelajarannya diwarnai tingkah laku yang ramai dan siswa mondar mandir tetapi tetap dalam kondisi aktif secara fisik maupun psikhis, tetapi harus tetap menjunjung dan mendukung proses pembelajaran yang direncanakan. Pembahasan karya dilakukan oleh guru dan siswa berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa mengenai pemilihan tema, menggunakan media, memilih teknik, dan pengungkapan ekspresinya.

(4) Para guru sebelum melakukan proses pembelajaran membuat Program Satuan Pelajaran yang mengacu pada GBPP untuk semester II yang di dalamnya terdapat tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Alen Hulburt, bahwa langkah-langkah yang ditawarkan dalam pelatihan kreativitas melalui seni salah satunya adalah set the goal, yaitu meletakkan dasar dengan tujuan yang akan dicapai sebagai langkah penentuan materi dan media yang diinginkan.

(5) Materi pembelajaran seni rupa di Sekolah Dasar yang sesuai dengan pengembangan kreativitas anak yaitu seni lukis, karena seni lukis merupakan karya seni rupa dua dimensional yang sangat mudah dikuasai dan dikerjakan oleh anak usia Sekolah Dasar, guna menyatakan objek yang jauh dan dekat, karakter objek yang satu dengan lainnya dapat dicapai dengan nuansa-nuansa warna yang berbeda.

(6) Seni Lukis di sekolah dasar pada kelas rendah bahkan pada tingkat prasekolah hasil karyanya menunjukkan adanya tingkat kreativitas yang tinggi dan memiliki pengungkapan ekspresi yang murni belum terpengaruh oleh teori-teori yang akan mempengaruhi karyanya. Tetapi pada tingkat sekolah dasar di kelas III, IV, V dan VI anak sudah mulai sadar mengenai lingkungannya, perspektif, proporsi, model, dan keadaan yang sebenarnya tetapi belum menguasai teknik dalam melukis maka lukisannya tergolong dalam realisme semu.

(7) Kreativitas anak-anak nampak pada lukisannya yang kebanyakan kearah kebaruan yaitu walaupun menggunakan teknik konvensional tetapi sudah berani menggunakan campuran media yang tidak biasa digunakan kebanyakan anak, misalnya menggunakan pastel krayon dicampur dengan menggunakan spidol dimana spidol sebagai kontur-kontur pembatas bidang yang kemudian diwarnai dengan krayon pastel dengan padat, sebenarnya hal ini menunjukkan bahwa siswa tersebut hampir menguasai teknik-teknik pembaruan, nilai pada lukisan tersebut mengandung nilai estetis dan artistik yang cukup menggembirakan karena dari sejumlah siswa sudah banyak yang berani mentransformasi, yaitu mengubah bentuk-bentuk alam menjadi bentuk yang lebih indah dengan tidak lepas pemadatan objek. Hal ini menunjukkan bahwa karya-karya tersebut masih mengungkapan ekspresi murninya.

(8) Dari beberapa siswa masih banyak yang menyenangi tema lingkungan siswa dalam kehidupan sehari-hari dan menunjukkan adanya stimulasi yang mampu mendorong anak untuk

berkarya yang kreatif. Misalnya lingkungan keluarganya yang terdiri Ayah, Ibu, Kakak dan Adik pun tak luput menjadi tema lukisannya.

(9) Tema-tema yang banyak diminati oleh anak sekolah dasar di lingkungan Dinas

Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang yaitu tentang pariwisata dan keramaian lalu lintas. Hal ini dimungkinkan karena setiap harinya siswa melihat situasi kemacetan lalu lintas, sehingga hal ini menjadi inspirasi bagi siswa dalam mengungkapkan pengalamannya melalui lukisan.

(10) Tema lingkungan juga merangsang dengan kuat pada siswa sehingga cepat mengekspresikan sesuai dengan kecakapan teknis berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diberikan oleh guru sehingga menghasilkan karya-karya yang kreatif. Karya rupa merupakan hasil pikiran, keinginan, gagasan, dan perasaan anak terhadap lingkungan sekitar sebagai refleksi terhadap bentuk maupun dorongan emosi terhadap lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pembinaan kreativitas dengan jabaran hakekat seni rupa bagi anak (Evan & Pamadhi, 2007).

(11) Hampir semua guru di tempat penelitian berlangsung menggunakan metode yang sama dalam proses pembelajaran dengan pokok bahasan menggambar/melukis yaitu metode demonstrasi. Metode ini merupakan metode yang sangat tepat dalam membangkitkan kreativitas siswa. Melalui metode demonstrasi siswa dapat melihat bagaimana cara menggores (membuat sketsa) dengan spontan tetapi memiliki nilai yang artistik, bagaimana cara mencampur cat yang benar sehingga dapat menghasilkan campuran yang matang dan memiliki nilai artistik, cara penyelesaian karya dengan sempurna sehingga siswa mendapat gambaran yang jelas mengenai proses berkreasi.

(12) Sejak awal hingga akhir pembelajaran, dengan metode demonstrasi dapat merangsang

minat anak, menimbulkan fantasi bahkan dapat menumbuhkan perasaan sensitif sehingga siswa

tidak ragu-ragu lagi dalam menggoreskan media gambarnya untuk mengungkapkan ekspresinya menjadi sebuah karya seni yang berupa karya gambar/lukisan.

(13) Media yang banyak memberikan alternatif guna pengembangan kreatifitas anak siswa

yaitu media campuran. Banyak siswa sekolah dasar sekarang dalam kegiatan berkarya seni rupa itu siswa lebih banyak menggunakan dua media dalam satu karya gambar/lukisan atau sudah mulai berani menggunakan media campur, artinya menggunakan media yang lebih dari satu padahal media tersebut dapat digunakan sendiri-sendiri dan dapat menghasilkan karya yang bagus. Sebagai contoh media campur, yaitu krayon pastel dicampur dengan media cat air atau krayon pastel dengan spidol.

(14) Dari campuran media menjadi satu dapat menyatu dengan kuat sehingga menimbulkan suatu karya yang bagus. Kegiatan yang dilakukan dengan media: krayon, spidol, cat air, pensil warna dalam melukis adalah membuat sketsa dengan spidol yang berfungsi untuk membatasi bidang-bidang gambar, kemudian ruangan-ruangan kosong diisi dengan olesan cat air atau krayon, bahkan dapat menggunakan media campuran antara cat air dengan krayon sehingga membentuk efek-efek yang artistik dan kreatif. Pada kegiatan berkarya seni rupa itu siswa lebih banyak menggunakan dua media dalam satu karya gambar/lukisan. Penggunaan media seni rupa campuran ini merupakan suatu keberanian bagi siswa dalam menggambar/melukis. Melalui pengalaman belajar berkarya seni rupa ini siswa menyatakan bahwa menggambar/melukis tidak hanya menggunakan satu media saja. Penggunaan media campuran ini merupakan penjelajahan bagi siswa karena efek-efek media ini memiliki nilai artistik tersendiri, karena tiap-tiap media mempunyai karakter yang berbeda-beda, misalnya spidol minyak jika dipadu dengan cat air tidak luntur.

(15) Garis-garis spidol yang kuat jika dipadu dengan krayon yang berminyak masih akan tampak garis-garis indah dan menyatu. Jika spidol air dipadukan dengan cat air akan luntur, tetapi mempunyai efek-efek yang ekspresif, kreatif dan artistik, karena lunturnya garis spidol tersebut kelihatan menyatu dengan cat air.

(16) Teknik berkaya seni rupa, terutama menggambar/melukis sangat mudah dilakukan oleh siswa di tingkat sekolah dasar guna pengembangan kreativitasnya. Teknik yang digunakan oleh para siswa sekolah dasar dalam hal ini yaitu teknik konvensional, karena teknik konvensional tersebut merupakan teknik penggunaan media seni rupa yang sesuai dengan aturan media, misalnya cat air harus digunakan sesuai ketentuannya, yaitu cat dicampur dengan air kemudian dioleskan di atas kertas.

(17) Pada pelaksanaan pembelajaran di Lingkungan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang masih banyak yang menggunakan teknik konvensional, karena guru memberi kebebasan kepada siswa dalam menggunakan teknik menggambar/ melukisnya. Bagi siswa yang memang kurang berani mengungkapkan ekspresinya secara leluasa memang takut untuk mencoba dengan teknik yang tidak lumrah, karena beranggapan bahwa menggunakan teknik inkonvensional menyalahi aturan dan takut akan mendapatkan nilai jelek.

(18) Ada beberapa siswa yang senang menggunakan teknik inkonvensional, yaitu menggunakan spidol dicampur dengan krayon pastel, spidol dengan cat air, spidol air dengan cat air. Siswa yang berani menggunakan teknik konvensional ini ternyata siswa yang memang memiliki kemampuan gambar yang lebih dibandingkan dengan temannya, dan mereka sudah terbiasa menggunakan media tersebut.

(19) Penemuan teknik lain, yaitu cara penggunaan media yang sebenarnya termasuk ke dalam konvensional atau inkonvensional tetapi teknik ini memang diajarkan oleh gurunya sehingga terampil menggunakannya yaitu: teknik arsir dengan pensil. Teknik ini membentuk siswa teliti, rapih, dan kemampuan menggunakan alat yang lebih, karena teknik ini memerlukan waktu yang cukup lama dalam berlatih. Teknik arsir ini banyak digunakan untuk menggambar bentuk atau model, dalam menggambar bentuk atau model memerlukan kecermatan yang ekstra.

(20) Teknik finger painting, yaitu menggambar/melukis dengan tanpa menggunakan alat kuas pada penggunaan car air/cat minyak, yaitu langsung cat air/minyak tanpa menggunakan pengencer tetapi langsung dituangkan ke atas kertas atau kanvas dan untuk membentuk gambarnya menggunakan jemari langsung. Hal ini dapat mengungkapkan rasa estetisnya langsung ke bidang gambar tampa melalui perantara media. Pekerjaan ini sering dilakukan pula oleh pelukis Exspressionis Affandi dan Vincent Van Gogh. Teknik dusel, teknik ini kurang diminati oleh siswa sekolah dasar, terutama pada tempat penelitian ini karena ternyata dari sekian siswa yang diberikan pembelajaran ini tidak ada yang melakukannya. Teknik dusel ini sebenarnya banyak dilakukan penggambar/pelukis yang sudah berpengalaman, karena teknik ini memang agak sukar dikerjakan dan hasilnya untuk jenis gambar tertentu, yaitu lukis foto.

(21) Dalam membina siswa terampil menggambar/melukis para guru kelas maupun guru bidang studi memberikan kesempatan pada anak didiknya yang berminat dan berbakat guna mengembangkat fungsi-fungsi jiwanya, sehingga dapat mengembangkan kreatifitasnya melalui ekstra kurikuler atau sanggar seni yang ada di sekolahnya. Pemilihan dan penggunaan teknik sangat menentukan keberhasilan dalam lomba menggambar/melukis. Penentuan dan penggunaan teknik yang tepat juga dapat memberikan keluasan kepada siswa dalam berekspresi sehingga siswa merasa bebas, tidak tertekan oleh konvensi yang mengikat. Walaupun lomba lukis ini bukan menjadi tujuan utama dalam pengembangan kreativitas, prestasi lomba seni lukis ini sering membawa nama harum sekolah tempat siswa belajar bahkan tidak jarang lomba karya lukis siswa membawa harum negara di skala Internasional, hal ini sudah banyak terjadi.

(22) Langkah-langkah yang ditawarkan dalam pengembangan kreativitas di sekolah dasar yaitu meletakkan dasar dengan tujuan memperhatikan beberapa faktor yang kemungkinan dapat memberikan tema, memberikan arahan dalam mencipta, merencanakannya matang, mengelola penciptaan sesuai dengan rencana dan mengevaluasi hasil yang telah diciptakan telah dilakukan oleh guru-guru kelas maupun bidang studi sehingga mampu mengantarkan anak didiknya untuk berkarya secara kreatif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa:

1. Tema menggambar/melukis yang mampu memberikan stimulasi pada anak untuk berkarya kreatif lewat tema-tema lingkungan, hal ini dikarenakan tema lingkungan sangat dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari sehingga memudahkan siswa dalam berekspresi.

2. Metode pembelajaran seni rupa dengan pokok bahasan menggambar/melukis di SD lingkungan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang yang mampu membangkitkan siswa untuk berekspresi kreatif didominasi oleh metode Demonstrasi.

3. Media yang banyak memberikan alternatif bagi siswa SD di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang masih konvensional, yaitu masih terbatas pada media yang biasa dipakai pada kebanyakan siswa SD pada umumnya berupa: cat air, krayon pastel, spidol minyak, dan spidol air.

4. Teknik yang banyak digunakan oleh SD di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Tangerang adalah teknik konvensional, namun demikian terdapat sebagian kecil siswa menggunakan teknik inkonvensional, siswa yang menggunakan teknik ini justru memeroleh hasil akhirnya lebih bagus dibandingkan dengan hasil menggambar/ melukis siswa yang menggunakan teknik konvensional.

5. Dengan tema lingkungan, menggunakan cara konvensional (sebagian kecil siswat elah berani dengan cara inkonvensional) dan metode demonstrasi merupakan cara-cara yang masih dapat dianggap/sesuai dalam pembelajaran di lingkungan SD/MI Diknas Kabupaten Tangerang.

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan diajukan saran sebagai berikut.

1. Hendaknya guru dalam memberikan materi pembelajaran banyak menggunakan metode Demonstrasi.

2. Hendaknya guru setiap memberikan materi pembelajaran menggambar/melukis mem-berikan tema, dan temanya tentang lingkungan siswa.

3. Hendaknya guru dalam memberikan materi pembelajaran sebaiknya memberikan kebebasan

memilih media bahkan kalau perlu agar siswa menggunakan media campuran.

4. Dalam mengevaluasi karya seni anak yang bertujuan untuk melihat sejauh mana kemampuan

seni anak hendaknya dengan cara komprehensif.

REFERENSI

Evan, S. & Pamadhi, H. (2007). Seni keterampilan anak. Jakarta: Universitas Terbuka.

Kadir, A. (1973). Pengantar estetika. Yogyakarta: BP ASRI.

Kurikulum Pendidikan Dasar. (1994). Garis-garis Besar Program Pengajaran. Jakarta : Depdikbud.

Liderman, E.W. & Herberholz, D.W. (1979). Creative teaching in art. New York: Prentice Hall.

Mas Ayu’s. (2007). Evaluasi dalam seni. http://arttangara.multiply.com/

Nurhadiat, N. (1990). Keterampilan praktis seni rupa. Bandung: Rosdakarya.

Rodowski, R. (1984) Teaching in art. New York: Prentice Hall.

Wasono, Pengembangan Kreatifitas Seni Siswa melalui Pembelajaran Seni Rupa di SD/MI se Kab. Tangerang

91

Soedarso S.P. (1987). Tinjauan seni. Yogyakarta: Sakudayarsana.

Soehardjo. (1974). Metodik khusus untuk anak. Malang: Institut Press IKIP Malang.

3.

PENGGUNAAN TES URAIAN DIBANDINGKAN DENGAN TES PILIHAN GANDA

TERSTRUKTUR DAN TES PILIHAN GANDA BIASA

Tarhadi (tarhadi@mail.ut.ac.id)

Kartono(kartono@mail.ut.ac.id)

Yumiati(yumi@mail.ut.ac.id)

ABSTRACT

The purpose of this study was to see whether the general objectives test or the structured objectives test could substitute the essay test. To achieve this goal the three forms test of Calculus I (PEMA 4108) were tested to two groups of students from Mathematics Education of Jakarta State University (UNJ). The first group was consisted of 38 students and the second group was 33 students. The general objectives test and the essay test were given to the first group; the structured objectives test and essay test were given to the second group. The achievement scores of 50 and up were analyzed. In the first group, there were 16 students achieved those scores for the general objectives test and 16 students for the essay test. Meanwhile in the second group there were 15 students for the general objectives test and 15 students for the essay test. Based on the statistical analysed, the first group showed the significant difference between general objectives test and essays test, however, the second group indicated that there was no significant difference between the structured test and the essay test. Threfore, it can be concluded that the general objectives test can’t substitute the essay test, while the structured test can substitute the essay test.

Keywords: Calculus I, Essay Test, General Objectives Test, Structured Objectives Test.

Banyak pendapat muncul tentang pengertian matematika. Ada yang mengatakan bahwa matematika adalah bahasa simbol, matematika adalah berpikir logis, matematika adalah ratunya ilmu dan sekaligus menjadi pelayannya, dan berbagai pendapat lainnya (Bell, 1986). Matematika merajai segala ilmu yang sekaligus melayani perkembangan ilmu. Cockroft (dalam Pamela, 1984) mendefinisikan matematika dengan menjawab pertanyaan: “mengapa mengajarkan matematika” dan diperoleh jawaban bahwa matematika berguna dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam sains, perdagangan, maupun industri. Oleh karenanya, matematika memberi suatu daya, alat komunikasi yang singkat, alat untuk mendeskripsikan dan memprediksi suatu masalah. Palling (1982) menyatakan pengertian matematika adalah hitungan yang berisi tentang penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian; matematika berisi tentang topik aljabar, geometri; matematika berisi tentang macam-macam pemikiran logika. Sedangkan Soedjadi (2000), berpendapat bahwa ada elemen-elemen penting yang mencirikan pengertian matematika yaitu: (1) matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak yang teroganisir secara sistematik; (2) matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi; (3) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logis dan berhubungan dengan bilangan; (4) matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk; (5) matematika adalah pengetahuan tentang struktur yang logis; dan (6) matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, maka definisi matematika dalam penelitian ini adalah matematika berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif, yang objeknya meliputi fakta, prnsip, konsep, operasi, dan relasi. Dengan demikian definisi ini membawa akibat kepada terjadinya proses belajar matematika itu, yang bertujuan melayani pengembangan ilmu lain.

Ketika belajar matematika, terjadi pula proses berpikir pada diri seseorang , yang artinya orang tersebut sedang melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir, seseorang menyusun hubungan antara informasi yang telah direkam di dalam pikiran yang berupa pengertian-pengertian. Dari pengertian-pengertian tersebut terbentuklah pendapat dan pada akhirnya ditariklah suatu kesimpulan. Dalam teori belajar, kemampuan berpikir yang meliputi kemampuan mengingat, menduga, menganalisis, melakukan sintesis, dan mengevaluasi dapat dilatih. Materi yang dipelajari tidak penting, namun latihan yang melibatkan pikiranlah yang sangat penting. Pada dasarnya berpikir berkembang dalam tiga cara, yaitu: (1) mengelola hasil-hasil pengamatan, (2) memperkuat penalaran, dan (3) mengembangkan proses komparasi. Pengembangan penalaran dalam matematika akan mengembangkan pula pola berpikir logis, dan ini dapat ditransfer ke penalaran ilmu-ilmu yang lain (Hudoyo, 1989).

Belajar matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti, hubungan-hubungan dan simbol-simbol yang terkandung dalam matematika secara sistematis, cermat dan tepat, kemudian menerapkan konsep-konsep yang dihasilkan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, atau keadaan dan situasi nyata. Sementara hasil belajar matematika adalah kemampuan yang diperoleh mahasiswa setelah mengikuti kegiatan belajar matematika. Dalam penelitian ini hasil belajar mahasiswa dibatasi hanya pada ranah kognitif yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, analisis, sintesis dan evaluasi. Hasil belajar ini dapat diukur dengan menggunakan alat ukur berupa tes uraian dan tes objektif berbentuk pilihan ganda.

Secara umum tes dapat diartikan sebagai alat yang digunakan untuk mengukur atau penguasaan objek ukur terhadap seperangkat isi atau materi tertentu (Djaali, 2000). Sudjono(1998), mengutarakan bahwa tes adalah alat atau prosedur yang digunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian. Senada dengan pendapat tersebut Sudjana (1998) mengemukakan bahwa tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan untuk mendapat jawaban dalam bentuk lisan, tulisan atau dalam bentuk perbuatan. Sedangkan menurut Popham (1995), tes digunakan dalam penilaian kelas dan terdapat beberapa bentuk tes yaitu: tes pilihan ganda dan tes uraian dengan jawaban singkat dan uraian.

Tes Uraian adalah bentuk tes yang terdiri dari satu atau beberapa pertanyaan yang menuntut jawaban tertentu dari mahasiswa secara individu berdasarkan pendapatnya sendiri yang berbeda dengan jawaban mahasiswa lainnya (Bloom & Madaus, 1981). Menurut Grondlund (1982), tes uraian adalah kebebasan menjawab pertanyaan yang ditujukan pada seseorang, yang menuntutnya agar memberikan jawaban sendiri, relatif bebas, bagaimana mendekati masalahnya, informasi apa yang akan digunakan, bagaimana mengorganisasi jawabannya, dan berapa besar tekanan yang diberikan kepada setiap aspek jawaban. Nitko (1996) mengemukakan bahwa soal-soal tes uraian memperbolehkan seseorang bebas untuk mengekspresikan jawaban, ide-ide mereka sendiri dan hubungan antar ide-ide tersebut, serta mengorganisasi jawaban sendiri. Jawaban dari soal menginginkan seseorang untuk mengaplikasikan keahliannya untuk memecahkan masalah baru atau menganalisis situasi baru. Seorang mahasiswa bebas merespons derajat kebenaran atau kebaikan. Respon mahasiswa dapat dinilai oleh seorang pengajar ahli (dosen) yang mengetahui subjeknya terlebih dahulu.

Tipe tes uraian sangat populer dikarenakan mudah ditulis, dan bagi sementara orang merupakan cara terbaik untuk mengungkap kemampuan mengorganisasi pikiran dan menyatakan pengetahuan secara lengkap. Soal tes uraian menuntut baik pengajar maupun pelajar atau mahasiswa berlatih untuk bernalar. Sementara itu, penilaian tidak hanya melihat hasil akhir tetapi proses jawabannya juga diperhatikan. Kendala tes uraian ini pemeriksaannya lebih sulit dan makan waktu banyak. Karena tes diberikan pada akhir tiap pokok bahasan dimana materi tidak cukup banyak maka akan sangat cocok dan tepat apabila diberikan tes bentuk uraian supaya mahasiswa benar-benar mendapatkan masukan materi secara mendalam dan mempunyai tingkat penalaran dan daya analisis yang tinggi. Hal ini akan menentukan apakah dosen harus mengganti strategi belajar atau metode belajar, disamping untuk mengetahui bagian-bagian mana dan materi pelajaran mana yang belum dikuasai oleh mahasiswa.

Secara umum tes bentuk uraian adalah pertanyaan yang menuntut mahasiswa menjawabnya dalam bentuk menguraikan, menjelaskan, mendiskusikan, membandingkan, memberikan alasan, dan bentuk lain yang sejenisnya sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan menggunakan kata-kata dan bahasa sendiri. Dengan demikian, dalam tes ini menuntut kemampuan mahasiswa berpikir teratur atau bernalar, yakni berpikir logis, analitis dan sistematis serta dapat mengekspresikan gagasan melalui kemampuan berbahasa. Inilah kelebihan atau kekuatan tes uraian dari alat penilaian lainnya.

Setelah mengkaji penjelasan di atas kiranya cukup bijaksana apabila bentuk tes uraian

digunakan untuk Ujian Akhir Semester agar kualitas pendidikan lebih meningkat. Kemampuan yang diungkapkan tes uraian tidak hanya mencakup berpikir logis tetapi juga kemampuan berbahasa pada mahasiswa. Dimensi tes uraian lebih luas dan dapat mencakup semua aspek kognitif secara seimbang di samping membiasakan para mahasiswa untuk belajar matematika penuh pemahaman dan mempersiapkan diri secara matang apabila menghadapi ulangan atau ujian-ujian.

Menurut Hopkins dan Antes (1990), soal pilihan ganda terdiri dari pernyataan dan pertanyaan yang harus dijawab oleh mahasiswa atau melengkapi dengan memilih salah satu dari beberapa alternatif yang tersedia. Satu di antaranya adalah yang paling benar, lainnya disebut pengecoh. Dilihat dari strukturnya, Sudjana (1998) menyatakan bahwa bentuk soal pilihan ganda terdiri atas pertanyaan atau pernyataan yang berisi permasalahan yang akan ditanyatakan, jumlah pilihan atau alternatif jawaban (option), jawaban yang benar atau paling tepat (kunci), dan jawaban selain kunci (distractor). Menurut Silverius (1991), soal dalam bentuk pilihan ganda terdiri dari kalimat (stem) yang berupa pertanyaan yang dikuti tiga atau lebih kemungkinan jawaban. Dapat pula berbentuk pertanyaan yang belum lengkap yang diikuti kemungkinan-kemungkinan pelengkapnya.

Dari kemungkinan-kemungkinan ini, hanya ada satu jawaban yang benar. Salah satu kelemahan tes pilihan ganda adalah meskipun mahasiswa tidak tahu jawabannya mereka dapat memilih jawaban yang tersedia secara acak. Sementara itu kelebihan tes pilihan ganda adalah mudah dikoreksi hasilnya. Kedua jenis tes yang telah dijelaskan di atas akan diuji-cobakan untuk mata kuliah Kalkulus I (PEMA4108/ 3sks). Mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah wajib dalam Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP-UT. Kompetensi yang dituntut dari mata kuliah ini adalah mahasiswa dapat menyelesaikan masalah matematika yang berkaitan dengan ekstrim maksimum dan ekstrim minimum dengan menggunakan hitung diferensial. Materi pembahasan diuraikan ke dalam sembilan modul dengan rincian materi sebagai berikut. (1) Bilangan Real ; (2) Fungsi dan Grafiknya ; (3) Limit Fungsi; (4) Limit Fungsi Trigonometri dan Bilangan e; (5) Hitung Diferensial; (6) Sifat Fungsi Kontinu; (7) Pemakaian Hitung Diferensial; (8) Gambar Grafik Fungsi ; (9) Lanjutan Derivatif

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan studi eksperimen terhadap bentuk tes pilihan ganda dan bentuk tes uraian dengan tujuan untuk mengetahui apakah bentuk tes pilihan ganda terstrukur dapat menggantikan bentuk tes uraian.

Semula dirancang sampel penelitian ini adalah mahasiswa program studi Pendidikan Matematika Universitas Terbuka yang pada masa registrasi 2007.1 mengambil mata kuliah Kalkulus I (PEMA 4108), namun karena hanya mendapatkan satu responden maka sebagai alternatifnya rancangan penelitian ini diterapkan kepada mahasiswa program studi Pendidikan Matematika dan mahasiswa program studi Matematika dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang pada bulan April 2007 sedang mengambil mata kuliah Kalkulus I; dengan jumlah 73 orang mahasiswa.

Dalam penelitian ini digunakan tes bentuk pilihan ganda dan tes bentuk uraian mata kuliah Kalkulus I (PEMA 4108). Tes bentuk pilihan ganda (objektif) terdiri dari dua tipe, yaitu tipe biasa dan tipe terstruktur. Tes pilihan ganda tipe biasa, yaitu tes objektif yang setiap butir soalnya independen, tidak dikaitkan antara butir soal yang satu dengan butir soal yang lain. Sedangkan tes pilihan ganda terstruktur adalah tes objektif di mana setiap butir soalnya memiliki keterkaitan dengan butir soal lain yang merupakan urutan penyelesaian sebuah kasus matematika.

Jumlah butir soal untuk tes objektif adalah 30 butir, sedangkan tes uraian berisi 7 butir soal. Tes objektif tipe terstruktur berisi soal-soal yang merupakan urutan penyelesaian soal-soal tes bentuk uraian. Tabel memperlihatkan hubungan butir soal bentuk uraian dengan butir soal bentuk objektif terstruktur. Pada setiap nomor soal tes objektif disediakan empat pilihan jawaban, dengan satu jawaban yang benar dan tiga jawaban pengecoh.

Tabel 1. Hubungan Butir Soal Bentuk Uraian dengan Butir Soal Bentuk Objektif Terstruktur

Nomor butir soal bentuk uraian Nomor butir soal bentuk objektif terstruktur

1 1, 2, dan 3

2. 4 5, 6, 7, 8, dan 9

3 10, 11, 12, dan 13

4 14, 15, 16, dan 17

5 18, 19, dan 20

6 21, 22, 23, dan 24

7. 25, 26, 27, 28, 29 dan 30

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa soal nomor 1 bentuk uraian dapat diselesaikan dengan langkah-langkah dari nomor 1 sampai nomor 3 pada butir soal bentuk objektif tipe terstruktur; soal nomor 2 bentuk uraian dapat diselesaikan dengan langkah-langkah dari nomor 4 sampai 9 pada butir soal bentuk objektif tipe terstruktur; dan seterusnya.

Disamping tes, ada instrumen lain berupa kuesioner yang digunakan untuk mengetahui data pribadi peserta tes berupa usia , ijasah terakhir, masa registrasi pertama, jumlah beban sks yang telah diambil, IP terakhir, gaya belajar, waktu yang disediakan untuk belajar Kalkulus I per-minggu, dan kesan terhadap tingkat kesulitan tes . Kuesioner ini diberikan bersamaan dengan pelaksanaan tes pada bulan April 2007. Mahasiswa sampel dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas pembanding. Mahasiswa di kedua kelas tersebut diberi tes dalam dua tahap tes. Tahap pertama, semua mahasiswa diberi tes bentuk uraian dengan soal yang sama. Pada tahap kedua, mahasiswa kelas eksperimen diberi soal bentuk objektif tipe terstruktur, dan mahasiswa di kelas pembanding diberi soal bentuk objektif tipe biasa.

Dari seluruh mahasiswa yang mengikuti tes, diambil mahasiswa dengan nilai tes uraian

minimal 50 untuk dianalisis. Pengambilan nilai minimal 50 karena nilai C untuk mata kuliah Kalkulus I (PEMA4108) adalah minimal 50. Data dianalisis dengan komparasi nilai yang diperoleh dari tes bentuk uraian dengan tes bentuk objektif tipe terstruktur untuk kelompok pertama, dan komparasi nilai yang diperoleh dari tes bentuk uraian dengan tes bentuk objektif tipe biasa untuk kelompok kedua.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelas eksperimen

Dari kelas eksperimen, sebanyak 38 orang mahasiswa yang diberikan tes objektif berstruktur dan uraian diketahui bahwa sebagian besar (79%) berusia antara 18 tahun – 19 tahun dan didominasi oleh perempuan. Hanya satu orang mahasiswa yang memasuki semester 6 dengan ijasah SMA tahun 2003 dan masuk UNJ tahun 2004, sedangkan mahasiswa lainnya berada pada semester 2 dengan ijasah SMA tahun 2006 dan masuk UNJ pada tahun 2006. Sebagian besar responden telah menempuh 19 sks. IPK mahasiswa seluruhnya di atas 2,00 dengan rincian 8% memiliki IPK antara 2,00-2,49, 11% memiliki IPK antara 2,50-2,99, 53% memiliki IPK antara 3,00- 3,49, dan 11% memiliki IPK antara 3,50 – 4,00.

Dilihat dari frekuensi berpa kali mahasiswa menempuh mata kuliah Kalkulus I diperoleh informasi bahwa sebanyak 63% mahasiswa sampel baru pertama kali menempuh mata kuliah Kalkulus I, 32% mahasiswa sampel telah menempuh dua kali, dan hanya 5% mahasiswa sampel yang telah menempuh matakuliah Kalkulus I lebih dari dua kali. Dari mahasiswa yang mengulang matakuliah Kalkulus I sebanyak 92% mahasiswa sampel mengulang karena mendapat nilai C untuk mata kuliah tersebut, 5% mahasiswa sampel mengulang karena mendapat nilai D, dan 3% terpaksa harus mengulang mendapat nilai E.

Mahasiswa sampel mempersiapkan diri dengan belajar sendiri dan belajar kelompok secara sungguh-sungguh dalam menghadapi ujian, dan menggunakan teks book serta catatan kuliah untuk mempelajari mata kuliah Kalkulus I dengan waktu belajar 2,5 – 3 jam perminggu dalam 16 minggu.

Materi yang dianggap sulit oleh mahasiswa adalah fungsi transenden, dan trigonometri. Untuk mengatasi kesulitan belajar, sebagian besar mahasiswa melakukannya dengan bertanya pada teman atau pakar dan belajar kelompok. Soal tes yang dikerjakan oleh mahasiswa dirasakan cukup sukar, mereka yakin hanya benar 75%.

Kelas Pembanding

Sementara dari kelas pembanding, sebanyak 35 mahasiswa yang diberikan tes objektif

biasa dan uraian sebagian besar (86%) berusia antara 18 tahun – 19 tahun dan didominasi oleh

perempuan. Hanya 3% mahasiswa sampel yang merupakan mahasiswa semester 6 dengan ijasah SMU tahun 2003 dan masuk UNJ tahun 2004, sedangkan 97% mahasiswa sampel merupakan mahasiswa semester 2 dengan ijasah SMU tahun 2006 dan masuk UNJ pada tahun 2006. Seluruh mahasiswa telah menempuh 19 sks, dengan IPK rata-rata 2,00 atau lebih. Di antara mereka, 11% mahasiswa sampel memiliki IPK antara 2,00 – 2,49; 39% memiliki IPK antara 2,50 – 2,99; 50% memiliki IPK antara 3,00 – 3,50.

Dilihat dari frekuensi mahasiswa menempuh mata kuliah Kalkulus I diperoleh informasi bahwa sebanyak 77% mahasiswa sampel merupakan mahasiswa yang baru pertama kali menempuh matakuliah Kalkulus I, 20% mahasiswa telah menempuh dua kali, dan hanya 3% mahasiswa sampel yang telah menempuh matakuliah Kalkulus I lebih dari dua kali. Pada kelompok ini mahasiswa sampel yang mengulang matakuliah Kalkulus I dikarenakan mendapat nilai D dan E.

Mahasiswa sampel mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian dengan belajar sendiri

secara sungguh-sungguh, dan menggunakan teks book serta catatan kuliah untuk mempelajari mata kuliah Kalkulus I dengan waktu belajar selama 3 jam perminggu dalam waktu 24 minggu. Materi yang dianggap sulit oleh mahasiswa kelas pembanding adalah Limit dan Fungsi Transenden. Seperti halnya mahasiswa kelas eksperimen, cara mengatasi kesulitan belajar bagi mahasiswa kelas pembanding adalah dengan bertanya pada teman atau pakar. Soal tes yang dikerjakan oleh mahasiswa dirasakan cukup sukar, mereka yakin hanya benar 67%.

Hasil Tes

Jumlah mahasiswa yang mengikuti tes pada kelas eksperimen ada 38 orang, dan kelas pembanding berjumlah 35 orang. Namun dari seluruh mahasiswa tersebut hanya diambil mahasiswa dengan nilai tes uraian minimal 50. Pada kelas eksperimen, jumlah mahasiswa yang memperoleh nilai tes uraian minimal 50 ada 15 orang, sedangkan pada kelas pembanding berjumlah 16 orang. Berikut ini adalah ringkasan data yang diperoleh dari kelas eksperimen.

Tabel 2. Ringkasan Data Kelas Eksperimen

Variable N Mean SE Mean StDev Min Q1 Median Q3 Max

PG_Berstruktur 15 69,11 3,74 14,5 40 60 70 80 90

Uraian 15 63,67 2,56 9,91 52,5 55,63 61,25 71,25 88,75

Berikut ini adalah ringkasan data yang diperoleh dari kelas pembanding.

Tabel 3. Ringkasan Data Kelas Pembanding

Variable N Mean SE Mean StDev Min Q1 Median Q3 Max

PG_Biasa 16 79,17 3,48 13,9 43,33 69,17 85 90 93,33

Uraian 16 59,49 2,08 8,31 50 53,75 57,5 62,5 81,25

Sementara itu untuk mengetahui nilai tes bentuk objektif dan uraian dari setiap kelas berdistribusi normal atau tidak dilakukan uji normalitas ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov.

Hasil uji normalitasnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan tabel tersebut hasil tes asymptotic signifikansi (2-tailed) pada kedua tes diperoleh nilai signifikansi lebih dari 0,05 yang berarti kedua gugus data (PG_Berstruktur dan uraian)

berdistribusi normal.

Tabel 4. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kelas Eksperimen

PG_Berstruktur Uraian

N 15 15

Normal Parameters(a,b) Mean 69.1133 63.6800

Std. Deviation 14.50285 9.91854

Most Extreme Differences Absolute .191 .157

Positive .142 .157

Negative -.191 -.130

Kolmogorov-Smirnov Z .740 .606

Asymp. Sig. (2-tailed) .644 .856

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Hasil uji normalitas pada kelas pembanding pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kelas Pembanding

PG_Biasa Uraian

N 16 16

Normal Parameters(a,b) Mean 79.1688 59.5187

Std. Deviation 13.91046 8.31611

Most Extreme Differences Absolute .206 .178

Positive .155 .178

Negative -.206 -.126

Kolmogorov-Smirnov Z .824 .713

Asymp. Sig. (2-tailed) .506 .689

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Berdasarkan tabel di atas hasil tes asymptotic signifikansi (2-tailed) baik untuk nilai tes pilihan ganda biasa (PG Biasa) dan nilai tes Uraian diperoleh nilai signifikansi lebih dari 0,05 yang berarti kedua gugus data (PG Biasa dan Uraian) berdistribusi normal. Dengan demikian uji rata-rata berpasangan untuk kedua kelas layak menggunakan uji parameter.

Uji rata-rata berpasangan dilakukan untuk mengetahui apakah nilai tes objektif dengan nilai tes uraian memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Jika perbedaan tersebut tidak signifikan, maka hasil pengukuran dengan tes objektif sama dengan hasil pengukuran dengan tes bentuk uraian.

Hasil uji rata-rata pada kelas eksperimen adalah:

Tabel 6.Paired T-Test and CI: PG_Berstruktur, Uraian

Paired T for PG_Berstruktur - Uraian

N Mean StDev SE Mean

PG_Berstruktur 15 69,11 14,50 3,74

Uraian 15 63,67 9,91 2,56

Difference 15 5,44 16,90 4,36

95% CI for mean difference: (-3,92, 14,81)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 1,25 P-Value = 0,233

Hasil uji-t tersebut menunjukkan nilai signifikansi lebih dari 0,05 (p-value = 0,233), yang berarti H0 diterima dengan demikian kedua gugus data (nilai pilihan ganda dan uraian) memiliki perbedaan rata-rata yang tidak signifikan. Jadi tes objektif tipe terstruktur dapat menggantikan tes uraian.

Hasil uji rata-rata pada kelas eksperimen adalah:

Tabel 7. Paired T-Test and CI: PG_Biasa, Uraian Paired T for PG_Biasa - Uraian

N Mean StDev SE Mean PG_Biasa 16 79,17 13,90 3,48

Uraian 16 59,49 8,31 2,08

Difference 16 19,67 15,32 3,83

95% CI for mean difference: (11,51, 27,84)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 5.14 P-Value = 0.000

Hasil uji-t menunjukkan nilai signifikansi (p-value = 0,000) kurang dari 0,05 yang berarti H0 ditolak dengan demikian kedua gugus data (nilai pilihan ganda dan uraian) memiliki perbedaan ratarata yang signifikan. Jadi hasil pengukuran dengan tes objektif tipe biasa tidak sama dengan hasil pengukuran dengan tes uraian.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data, maka disimpulkan bahwa:

1. Hasil uji-t menunjukkan nilai signifikansi untuk kelas eksperimen lebih dari 0,05. Hal ini berarti tes objektif tipe terstruktur dapat menggantikan tes uraian.

2. Hasil uji-t untuk kelas pembanding menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 0,05. Hal ini berarti tes objektif biasa tidak dapat menggantikan tes uraian.

Untuk mengetahui hubungan antara jawaban benar tiap butir soal tes objektif terstruktur dengan langkah-langkah penyelesaian soal tes uraian maka perlu diteliti pola jawaban setiap mahasiswa peserta tes. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi korespondensi satusatu antara tes objektif terstruktur dengan tes uraian.

REFERENSI

Bell, E.T. (1986) Men of mathematics. New York: Simon & Schuster Inc.

Bloom, B.S. & Madaus (1981). Evaluation to improve learning. New York: Mc.Grann Hill Book Company.

Djaali, H. (2000). Pengukuran dalam bidang pendidikan. Jakarta: Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta.

Groundlund, N.E. (1982). Constructing achievement test. Englewood Cliffs: Prentice Hall.

Hopkins & Antes. (1990). Educational and psychological measurement evaluation. Massachussett: Ally and Bacon.

Hudoyo, H. (1989). Pengembangan kurikulum matematika dan pelaksanaannya di depan kelas. Surabaya: Usaha Nasional.

Nitco J.A. (1996). Educational assessment of student. New Jersey: A. Simon & Schuster Company.

Tarhadi, Penggunaan Tes Uraian Dibandingkan dengan Tes Pilihan Ganda Terstruktur dan Tes Pilihan Ganda Biasa

109

Palling, D. (1982). Teaching mathematics in primary school. Oxford: Oxford University Press.

Pamela, L. (1984). How children learn mathematics: A guide for parent and teacher. London: Penguin Book.

Popham, J.W. (1995). Clasroom assessment: What teachers need to know. USA: Allyn & Bacon.

Silverius. (1991). Evaluasi hasil belajar umpan balik. Jakarta: PT. Grasindo.

Soedjadi, R. (2000). Kiat pendidikan matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Sudjono, A. (1998). Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sudjana, N. (1998). Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

4.

KONTRIBUSI MATA KULIAH MENULIS TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS

MAHASISWA BERPROFESI GURU MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Lis Setiawati (lis@mail.ut.ac.id)

Ratu Badriyah

Universitas Terbuka

ABSTRACT

The writing titled ”Contribution of Subject Writing on Students’ was conducted based on the importance of writing ability for students. This research aimed to figure out the level of students, writing ability of those who are passed the subject “Writing (Advance Writing)” and whether their writing ability has contributions on their jobs as a teacher and a society member. The population of this researce were all students of the program, spread out at some UPBJJ, who have passed the examination in year 2006 semester 2 (2006.2) . The samples of this research were those who returned the research instruments (a writing ability test and a questionnaire). There were 36 students from UPBJJ Jakarta, Serang, Bandung, Purwokerto, Bengkulu, Banjarmasin, Kupang, and Papua. The result of this research shows that the students have good writing ability and it can be catagorized as follows: 25% of them are very good; 38,89% of them are good; 33,33% of them are fair; and 2,78% of them are not good enough. An analysis of contribution students writing ability on their job as a teacher, shows that 85,83% respondents declared that their writing ability is beneficial to them; 11,39% stated that their writing ability is less beneficial to them or has no contribution; and 2,06% did not give their opinions.

Key words: contributions of subject “Writing”, writing ability, distance learning.

Menulis merupakan kegiatan berkomunikasi antarsesama manusia dengan media berupa bahasa tulis. Berkomunikasi antardua orang dengan bahasa tulis dapat dilakukan melalui surat menyurat. Berkomunikasi dengan tujuan menyampaikan ide atau gagasan kepada banyak orang dengan bahasa tulis dilakukan melalui penulisan artikel atau buku. Ahmadi (1990) mendefinisikan ”Menulis merupakan suatu perbuatan atau kegiatan komunikatif antara penulis dan pembaca.” (hal.9)

Berdasarkan hal tersebut program studi melakukan penelitian dengan judul ” Kontribusi

Mata Kuliah Menulis terhadap Profesi Mahasiswa sebagai Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/SMA” Judul ini dipilih dengan latar belakang ingin mengetahui berapa besar kontribusi mata kuliah menulis yang dirancang oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia terhadap kemampuan menulis mahasiswa dan apakah kemampuan menulis mahasiswa juga berkontribusi positif terhadap kemampuan menulis para siswa yang diajar oleh mereka.

Menulis pada hakikatnya adalah kegiatan menyampaikan pesan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai medianya. Pesan yang disampaikan dapat berupa ide, gagasan atau hasil pemikiran, pengalaman, dan perasaan. Pesan melalui tulisan dapat dituangkan dengan menggunakan berbagai gaya bahasa dan aturan-aturan yang berlaku. Dengan demikian menulis

memiliki banyak jenis, ada tulisan berupa surat dan jenis-jenisnya, karya ilmiah dengan jenisjenisnya, rangkuman atau ringkasan, karya sastra, saduran, sinopsis, resensi, dan lain-lain.

Untuk memperoleh kemampuan menulis yang memadai diperlukan proses. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui seseorang untuk memperoleh hasil tulisan yang baik. Hafferman dan Lincoln (1986) berpendapat bahwa “menulis merupakan suatu proses. Pada waktu menulis seseorang memerlukan lebih banyak waktu untuk berpikir, menuangkan ide-idenya di atas kertas dengan cara mengembangkan topik, memilih kata-kata, membaca kembali apa yang ditulisnya, memikirkannya, mempertimbangkan-nya, dan memperbaikinya.” (hal. 6)

Keterampilan menulis tidak didapatkan seseorang dengan cara yang mudah atau sekali jadi. Richek, dan Lenner. (1997) mengungkapkan bahwa: “Penulis yang baik tidak menghasilkan tulisan dengan cara yang mudah atau sekali jadi, melainkan melalui tahapan-tahapan yang panjang.” (hal. 274). Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Hock (1999), “Menulis atau mengarang adalah suatu kemahiran yang berbeda dengan kemahiran berbahasa yang lain (menyimak, berbicara, dan membaca). Kemahiran atau keterampilan menulis dapat diperoleh seseorang melalui latihan-latihan yang intensif.” (hal.82)

Sebagai suatu proses, menulis memerlukan waktu yang panjang dan tahapan-tahapan yang harus dilalui. Mengapa memerlukan waktu yang panjang dan tahapan-tahapan yang banyak? Gere (1985) mengungkapkan bahwa “Menulis adalah berkomunikasi, menulis adalah mengekspresikan diri, menulis adalah menginstruksikan, dan menulis adalah usaha untuk belajar.” (hal. 4) Untuk memperoleh keterampilan menulis seperti yang diungkapkan oleh Gere di atas dapat diartikan bahwa untuk dapat menjadi penulis yang baik, sesorang dituntut memiliki beberapa pengetahuan sekaligus.

Pertama, seorang penulis memerlukan pengetahuan tentang isi (substansi) tulisan, dan pengetahuan tentang bagaimana menuliskannya yaitu pengetahuan yang menyangkut tentang aspek-aspek kebahasaan dan teknik penulisan. Halim dan Al Rasyid (1979) mengemukakan lima komponen penting yang terdapat di dalam sebuah karangan. Komponen-komponen tersebut adalah: (1) isi karangan, (2) bentuk karangan, (3) tata bahasa, (4) gaya, dan (5) ejaan dan tanda baca. (hal. 100) Isi atau substansi karangan adalah hal-hal yang dituangkan ke dalam karangan. Isi karangan dapat berupa ide, pengalaman, fakta, atau informasi-informasi yang diperoleh melalui bacaan.

Bentuk karangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu karangan dalam bentuk formal dan

nonformal. Contoh karangan dalam bentuk formal antara lain laporan, surat dinas, jurnal, dan karya ilmiah. Sedangkan karangan yang berbentuk nonformal antara lain cerpen, dongeng, novel, dan karya-karya sejenis.

Tata bahasa merupakan aturan-aturan bahasa yang berlaku. Tata bahasa dalam tulisan meliputi tata cara menggabungkan kata atau morfem (morfologi), penyusunan kalimat (sintaksis), serta aturan-aturan atau tata cara penulisan. Gaya, berhubungan dengan pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa yang digunakan oleh seorang penulis. Komponen ini besar pengaruhnya terhadap isi tulisan. Pilihan kata banyak memiliki keterkaitan dengan komponen-komponen lain dalam tulisan, terutama keterkaitannya dengan tujuan, bentuk tulisan, terutama keterkaitannya dengan pembaca.

Penerapan ejaan dan tanda baca dalam sebuah tulisan harus disesuaikan dengan ejaan yang berlaku. Penggunaan ejaan yang tidak mengikuti aturan-aturan kebahasaan akan mengganggu pemahaman pembaca terhadap isi tulisan, hal ini menimbulkan tulisan menjadi tidak komunikatif. Hal yang fatal juga dapat timbul dari informasi yang disampaikan dengan cara yang tidak komunikatif, yaitu terjadinya salah penafsiran.

Pernyataan para ahli bahasa di atas menunjukkan bahwa untuk memperoleh keterampilan menulis tidaklah mudah. Seseorang akan memperoleh kemampuan menulis jika ia memiliki semangat belajar yang tinggi, mau berlatih secara berkesinambungan, banyak bertanya, membaca, dan menyimak pembicaraan orang lain. Hal ini juga dinyatakan oleh Nurgiantoro (1987) berikut ini. ”Dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain (menyimak, berbicara, dan membaca), menulis lebih sulit dikuasai. Hal ini disebabkan di dalam menulis dituntut adanya berbagai unsur di luar unsur-unsur bahasa itu sendiri seperti isi karangan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu tulisan (karangan) yang runtut dan padu.” (hal. 270-271)

Begitu kompleksnya kegiatan yang harus dilakukan seseorang untuk memperoleh kemampuan menulis, peneliti sebagai pengelola perlu mengevaluasi kinerja terutama pada rancangan mata kuliah dan bimbingan belajar bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

Sistem Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh merupakan suatu sistem pendidikan yang

menganut pandangan bahwa belajar merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang dan dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Artinya, setiap orang harus selalu memiliki minat yang tinggi dalam belajar untuk meraih ilmu pengetahuan setinggi-tingginya, mau berusaha dengan sungguh-sungguh tanpa harus merasa khawatir terhadap kendala-kendala yang ada seperti kendala ruang atau jarak, serta kendala waktu. Orang yang seperti ini akan mampu mengatur waktu, tempat, dan cara belajar secara mandiri. Berikut ini beberapa pendapat tentang pendidikan jarak jauh (PJJ).

Motik (1989) mengutip pernyataan Dohmen tentang pendidikan jarak jauh sebagai berikut. ”Pendidikan jarak jauh adalah bentuk belajar mandiri yang terorganisasi secara sistematik, di mana bimbingan kepada siswa, penyajian bahan belajar, keyakinan dan supervisi terhadap keberhasilan siswa diselenggarakan oleh satu tim pengajar yang masing-masing mempunyai tanggung jawab tertentu. Hal ini dimungkinkan dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan media yang menjangkau jarak jauh.” (hal. 20)

Nenknya (dalam Suparman & Zuhairi, 2004) mengemukakan 6 gambaran pokok dalam PJJ

yaitu:

1. adanya dua atau lebih pihak yang mengadakan kontak melalui sistem kendali jarak;

2. adanya hubungan tatap muka satu-satu dengan siswa dalam bentuk bantuan, bimbingan, dan

pelatihan individual;

3. adanya komunikasi dua arah yang terorganisasi untuk menghubungkan dua tempat atau lebih

yang berjauhan;

4. tidak didominasi oleh pengajaran tatap muka;

5. menggunakan aspek-aspek komunikasi, sosial, dan pedagogi;

6. menuntut disiplin diri yang tinggi dan kegiatan siswa maksimum untuk berhasil.(hal. 9)

Pembelajaran Menulis melalui Sistem Jarak Jauh.

Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa dapat diperoleh dengan banyak berlatih secara berkesinambungan. Dalam pembelajaran dengan sistem belajar jarak jauh keterampilan ini dapat pula diperoleh melalui belajar dengan menggunakan bahan ajar cetak dan bantuan belajar melalui tutorial online.

Belajar melalui sistem pendidikan jarak jauh (SPJJ) adalah belajar mandiri. Belajar mandiri berarti belajar atas dasar kesadaran dan keinginan sendiri. Waktu, cara atau metode belajar ditentukan oleh si pebelajar sendiri. Miller (dalam Wihardit, 2004) menjelaskan bahwa “Belajar mandiri adalah cara belajar yang sepenuhnya atau sebagian terjadi di bawah kendali peserta didik sendiri.” (hal. 45) Pernyataan ini menunjukkan bahwa inisiatif, kreatifitas, dan aktivitas belajar muncul dari peserta didik sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka peran guru yang paling menonjol adalah sebagai fasilitator yang membantu peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajarnya. Belajar melalui SPJJ, pertemuan dengan dosen sangat terbatas, kehadiran dosen digantikan dengan sumber dan media lain yaitu modul, internet, dan multi media seperti audio dan video.

Modul sebagai bahan belajar bagi mahasiswa dalam memperoleh keterampilan menulis

harus dirancang dan disusun dengan cermat agar mahasiswa tidak hanya dengan mudah memahami konsep-konsep tentang menulis tetapi juga dapat berlatih menulis secara mandiri. Oleh sebab itu, peta kompetensi harus dirumuskan dan disusun dengan baik, uraian materi disampaikan secara sistematis, contoh-contoh harus dijabarkan secara jelas, latihan dan bimbingan harus diberikan secara berkesinambungan agar kompetensi yang diharapkan yakni: mengungkapkan ide dengan baik, menyusun paragraf sesuai persyaratan paragraf yang baik, menyusun kalimat secara efektif, memilih kata dengan tepat, menerapkan kaidah penulisan ejaan dan tanda baca dengan benar, dan memperhatikan aturan-aturan penulisan ilmiah dalam tulisan dapat diraih oleh mahasiswa.

Belajar melalui sistem jarak jauh identik dengan belajar mandiri. Belajar mandiri bukan

berarti belajar sendiri. Bantuan belajar berupa tutorial masih sangat diperlukan oleh mahasiswa. Tutorial dapat dilaksanakan secara tatap muka dan jarak jauh, yaitu tutorial online yang dapat diakses oleh mahasiswa atau tutorial tertulis jika waktunya memadai. Melalui tutorial mahasiswa dibimbing dan dilatih menulis berbagai jenis tulisan.

Evaluasi Pembelajaran Menulis merupakan satu kegiatan yang harus dilakukan dalam suatu proses pembelajaran. Evaluasi bertujuan mengetahui hasil belajar peserta didik. Evaluasi

pembelajaran menulis adalah evaluasi yang dirancang dan disusun sesuai dengan bahan belajar, proses belajar, aspek-aspek yang harus dikuasai mahasiswa dalam kegiatan menulis, dan hasil menulis.

Madson (1983) menjelaskan bahwa ”komunikasi merupakan kegiatan yang sangat kompleks, oleh karena itu tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan berkomunikasi juga kompleks. Mengukur kemampuan berkomunikasi tidak hanya sekadar mengukur pengetahuan tentang bahasa tetapi juga mengukur bagaimana testi menggunakan bahasa tersebut dalam berkomunikasi.” (hal. 89). Hal serupa juga dikemukakan oleh Sirait (1985) berikut ini.

”Evaluasi pembelajaran keterampilan berbahasa seyogianya bertujuan mengukur keterampilan berbahasa siswa/mahasiswa baik lisan maupun tulis. Mengukur keterampilan lebih sulit dibandingkan mengukur pengetahuan. Hal ini disebabkan pelaksanaan tes keterampilan lebih sulit dibandingkan pelaksanaan tes pengetahuan. Dalam persiapan dan pelaksanaan tes ini diperlukan waktu lebih banyak dan pemberian skornya bersifat subjektif.” (hal. 154).

Penjelasan para ahli tentang kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasi hasil belajar menulis, tidak berarti keterampilan menulis tidak dapat diperoleh melalui sistem belajar jarak jauh. Kesulitan-kesulitan tersebut diupayakan untuk diatasi sesuai dengan karakter pembelajaran jarak jauh. Program studi Pendidikan Bahasa Indonesia menyiapkan dan menyediakan sarana belajar dan berlatih menulis berupa bahan ajar yang syarat dengan contoh-contoh tulisan, media berlatih berupa bimbingan belajar melalui surat/faksimile dan tutorial online.

Evaluasi hasil belajar/berlatih menulis mahasiswa diukur dengan menggunakan tes uraian atau tes menulis. Soal-soal disesuaikan dengan karakter mata kuliah yaitu berupa berbagai bentuk tulisan (menulis resensi, sinopsis, laporan, dan lain-lain) sesuai dengan yang dipelajari dan dilatihkan kepada mahasiswa. Untuk mengurangi subjektivitas korektor, hasil menulis mahasiswa dikoreksi oleh dua orang korektor.

Di samping untuk mengetahui kontribusi mata kuliah menulis terhadap kemampuan menulis mahasiswa yang profesi sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/SMA, penelitian ini juga diharapkan memiliki manfaat bagi peningkatan kualitas perangkat mata kuliah menulis yang ditawarkan oleh program studi. Perangkat mata kuliah menulis meliputi rancangan mata kuliah (RMK), buku materi pokok (BMP), bahan bimbingan belajar dalam bentuk tutorial online (Tuton), bahan latihan mandiri (LM), bahan ujian akhir semester (UAS), dan pedoman penilaian baik untuk latihan maupun ujian.

Untuk menjawab masalah-masalah penelitian, digunakan 2 instrumen sebagai alat penjaring data yakni: (1) Instrumen berupa tes kemampuan menulis, (2) Instrumen berupa kuesioner manfaat kemampuan menulis. Instrumen tes kemampuan menulis berisi soal/tugas menulis resensi. Menulis resensi dianggap mempunyai efektifitas yang cukup tinggi untuk mengetahui kemampuan menulis mahasiswa dengan cara memberikan buku yang harus diresensi oleh mahasiswa. Data ini sekaligus dimanfaatkan untuk mengukur reliabilitas dan validitas alat ukur kemampuan menulis mahasiswa. Penilaian terhadap hasil menulis resensi mahasiswa dilakukan dengan menggunakan format penilaian menulis sesuai aspek-aspek evaluasi atau penilaian menulis yang digunakan oleh program studi dalam menilai hasil UAS mahasiswa. Aspek-aspek kemampuan menulis yang dinilai serupa dengan aspek-aspek yang dikemukakan Halim dan Harun (1974) yaitu: isi karangan, bentuk karangan, tata bahasa, gaya bahasa (diksi), serta ejaan dan tanda baca.

Dalam pemberian skor digunakan rambu penilaian (band descriptor) yang dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu: 1) ketepatan melaksanakan tugas yang dilihat sebagai aspek jenis tulisan;

2) susunan paragraf yang meliputi kesatuan dan kepaduan; 3) keefektifan kalimat; 4) ketepatan

pilihan kata; dan 5) penerapan ejaan dan tanda baca. Contoh rambu-rambu penilaian ini dapat dilihat pada lampiran. Untuk menghindari subyektifitas di dalam evaluasi hasil belajar menulis disediakan dua orang korektor untuk memeriksa hasil menulis seorang testi.

METODOLOGI

Populasi penelitian adalah mahasiswa program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

yang telah lulus menjadi sarjana pada periode 2006.2 sebanyak 68 orang. Sedangkan sampel penelitian adalah mahasiswa yang mengembalikan kuesioner serta hasil tes menulis resensi yaitu sebanyak 36 orang dari jumlah populasi yang menyebar di UPBJJ Jakarta, Serang, Bandung, Purwokerto, Bengkulu, Banjarmasin, Kupang, dan Papua.

Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua jenis instrumen yaitu berupa tes menulis dan kuesioner. Instrumen bentuk tes disusun untuk mengumpulkan data tentang kemampuan menulis mahasiswa. Kuesioner disusun untuk memperoleh data tentang manfaat kemampuan menulis yang dimiliki mahasiswa sebagai guru. Seluruh data baik data yang diperoleh melalui tes maupun kuesioner dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perolehan Data melalui Kuesioner.

Data melalui kuesioner dikumpulkan dengan tujuan mengetahui kualitas bahan ajar dan

manfaat kemampuan menulis mahasiswa terhadap tugasnya sebagai guru. Kuesioner berisi pernyataan-pernyataan mahasiswa tentang manfaat kemampuan menulis terhadap tanggungjawabnya kepada siswa sebagai peserta didik yang harus terampil menulis. Pernyataan-pernyataan tersebut meliputi, kemampuan menulis yang dimiliki membantu mahasiswa dalam melatih siswa menulis, menanamkan teknik-teknik menulis kepada siswa, meningkatkan kemampuan menulis siswa, memfasilitasi siswa dalam mempublikasikan tulisannya.

Hasil analisis data tentang varibel ini menunjukkan bahwa 86,11% responden menyatakan bahwa kemampuan menulis yang dimilikinya bermanfaat bagi tugasnya sebagai guru dan juga peran sertanya sebagai anggota masyarakat.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa 25% responden memiliki kemampuan menulis sangat baik (A); 38,89% memiliki kemampuan menulis yang baik (B); 33,33% cukup (C); dan 2,78% kurang baik (D). Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yaitu 72,22% dianggap mampu memanfaatkan kemampuan menulisnya dengan baik, 33,33% dapat memanfaatkan kemampuan menulisnya dengan terus meningkatkan kemampuan menulisnya dengan cara belajar dan berlatih secara mandiri, sedangkan 2,78% belum memiliki kemampuan menulis yang memadai atau masih rendah.

Kemampuan menulis yang diperoleh melalui instrumen ini, hampir tidak berbeda dengan kemampuan menulis mahasiswa yang diperoleh melalui UAS. Artinya, tidak perlu diragukan lagi bahwa mahasiswa memiliki kemampuan menulis yang memadai dan diharapkan dapat dimanfaatkannya dengan baik. Instrumen kedua tentang manfaat kemampuan menulis bagi mahasiswa ini berupa kuesioner yang berisi tentang pernyataan-pernyataan responden tentang kegunaan/manfaat kemampuan menulis yang dimilikinya, terutama pemanfaatan kemampuan menulis dalam menjalankan tugasnya sebagai guru yakni meningkatkan kemampuan menulis siswa maupun manfaat bagi dirinya yang berkaitan dengan penulisan karya-karya ilmiah dan penulisan surat-surat dinas.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa 85,83% responden menyatakan mata kuliah Menulis 2 atau kemampuan menulis memiliki manfaat bagi mahasiswa sebagai guru mata pelajaran bahasa Indonesia baik bagi siswa-siswanya maupun bagi peningkatan diri dalam profesinya. Responden yang menyatakan bahwa mata kuliah Menulis 2 tidak berkontribusi baik bagi siswa maupun dirinya berjumlah 11,39%, dan 3,06% responden tidak memberikan pendapatnya.

Melihat hasil analisis dari kedua instrumen ini tampak ada kaitan antara data kemampuan menulis dengan data manfaat kemampuan menulis yaitu, 72,22% responden memiliki kemampuan menulis baik/sangat baik dan 85,83% menyatakan bahwa kemampuan menulis yang dimilkinya bermanfaat bagi tugas-tugasnya, baik sebagai guru di kelas maupun sebagai individu dalam menunjang atau meningkatkan profesionalitasnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini tidak hanya dapat menjawab masalah-masalah penelitian, tetapi juga memunculkan dampak pengiring dari jawaban-jawaban tersebut. Secara keseluruhan penelitian ini menghasilkan hal-hal berikut ini.

1. Pedoman penilaian kemampuan menulis yang digunakan pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dapat dijadikan pedoman penilaian untuk mengukur kemampuan menulis mahasiswa.

2. Jumlah keberhasilan mahasiswa dalam menempuh mata kuliah menulis dapat dinyatakan cukup besar/baik yakni sebesar 97,22%.

3. Menulis sebagai suatu keterampilan sangat memerlukan latihan yang banyak dan hal ini dapat dilakukan dalam pembelajaran dengan sistem jarak jauh, karena sarana berlatih melalui bahan ajar dan bantuan belajar yang disediakan dirumuskan dan disusun secara baik.

4. Kemampuan menulis mahasiswa memiliki manfaat bagi mahasiswa, baik dalam menjalankan tugasnya sebagai guru maupun dalam meningkatkan karirnya secara kedinasan.

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan demi perbaikan-perbaikan,

khususnya perbaikan dalam rancangan mata kuliah menulis, khususnya penempuhan mata kuliah menulis melalui sistem pembelajaran jarak jauh. Perbaikan-perbaikan dapat dilakukan pada beberapa aspek sebagai berikut.

1. Perbaikan rancangan mata kuliah.

2. Perbaikan penyajian bahan belajar yang meliputi, sajian materi, contoh-contoh, dan bahan latihan.

3. Penyusunan skenario pembimbingan disertai latihan yang berkesinambungan, tahap demi tahap dengan menggunakan prinsip dari yang mudah ke yang sedang, diakhiri dengan yang lebih sulit atau kompleks.

4. Penyusunan jadwal bimbingan yang dilaksanakan secara konsisten.

5. Hal yang juga cukup penting adalah bahwa program studi dapat menjadi fasilitator bagi mahasiswa dalam menilai dan mempublikasikan karya-karya tulis mahasiswa.

6. Khusus kepada mahasiswa yang lulus mata kuliah menulis dengan nilai D diharapkan memiliki kemauan yang tinggi untuk terus meningkatkan kemampuan menulisnya dengan cara banyak bertanya, berlatih, dan meminta masukan dari teman-teman yang lebih menguasai. Tidak ada usaha yang sia-sia. di mana ada kemauan di situ ada jalan.

REFERENSI

Ahmadi, M. (1990). Dasar-dasar komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.

Gere, R. (1985). Writing and learning. New York: MacMilland Publisher Company.

Hafferman, A.W. & Lincoln. E. (1988). Writing a collage handbook. New York: W.W. Norton & Company.

Halim, A. & Harun Al R. (1974). Ujian bahasa. Bandung: Ganeco.

Hock, M. (1999). What is writing intensive course. Diambil 10 Desember 2006, dari http://www.HypatianStanford.idu./arch/hcic/uahcic/sld013.htm.

Madson, H.H. (1983). Techniques in testing. Oxford: Oxford University Press.

Motik, I.S.D. (1989). A case study of the tutorial program at Jakarta regional office of Universitas Terbuka. Disertasi. New York: Syracuse University.

Nurgiantoro, B. (1987). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta: BPFE.

Richek., L.K. & Lenner, W. (1997). Reading problems assement teaching strategies. New Jersey: Prantice hall Inc.

Sirait, B. (1985). Menyusun tes hasil belajar. Semarang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang Press.

Suparman, A. & Zuhairi, A. (2004). Pendidikan jarak jauh: Teori dan praktik. Jakarta: Universitas Terbuka.

Wihardit, K. (2004). Implementasi belajar mandiri dalam sistem pendidikan jarak jauh. Dalam Bunga Rampai 1. Jakarta: Universitas Terbuka.

Jurnal Pendidikan, Volume 8, Nomor 2, September 2007, 117-127

126

5.

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP DI KABUPATEN PACITAN

Sunardi

Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT

There are two achievements of national development in the last four decades that might have contributed to the low rates of entrance in a few primary schools, especially in rural areas, i.e. family planning and primary education. Responding to that problem, assisted by the USAID through MBE Project, the District of Pacitan decided a policy to keep some of the primary schools with low rates attendance as they were, using a multigrade teaching model.

Many changes towards more innovative practices in school management and classroom instruction were required. The implementation of that policy, however, was not as smooth as it was predicted. Some problems were presented, followed by suggestions to solve the existing problems.

Keywords: classroom multigrade, heterogeneous.

Perkembangan pembangunan bidang pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah sejak 1975 melalui proyek Inpres dalam tahapan beberapa Repelita secara kuantitatif telah menunjukkan hasil luar biasa. Jumlah siswa yang semula hanya 13 juta pada tahun 1975 (Balitbangdikbud, 1990) telah bertambah menjadi hampir 29 juta pada tahun 2003 (Balitbangdikbud, 2003). Tingkat partisipasi pendidikan dasar yang semula di bawah 50% telah mencapai hampir 100%. Mereka yang belum memperoleh layanan pendidikan dasar sebagian besar terdiri dari individu yang memang memerlukan layanan khusus, seperti anak berkebutuhan khusus, anak-anak yang tinggal di daerah terpencil, anak nelayan, dsb.

Penurunan laju pertumbuhan penduduk pada dekade terakhir ternyata juga berpengaruh terhadap peta persekolahan di Indonesia. Data di beberapa kabupaten dan kota di eks karesidenan Surakarta menunjukkan kecenderungan menurunnya jumlah siswa SD. Hal ini sesuai dengan kecenderungan menurunnya jumlah siswa usia sekolah dasar, yang menurut data Balitbangdikbud (2003) dari tahun 2000 telah sedikit turun dari 38.679.000 menjadi 38.500.000. Kecenderungan ini mungkin berubah dalam beberapa tahun mendatang seiring dengan otonomi daerah, karena banyak daerah yang tidak memberi perhatian layak pada keluarga berencana. Sekolah-sekolah yang terletak di daerah perkotaan padat penduduk atau sekolah-sekolah favorit memang mempunyai jumlah siswa yang relatif stabil. Tetapi di daerah lain, beberapa sekolah dengan jumlah siswa di bawah ambang batas kelayakan (kurang dari 15 orang per angkatan) memaksa Dinas Pendidikan setempat mengambil kebijakan regrouping.

Meskipun secara ekonomis kebijakan regrouping berdampak positif bagi pemerintah, di beberapa daerah ternyata mempunyai dampak negatif, baik bagi guru maupun para siswa. Beberapa guru merasa tidak ”merasa di rumah”, di tempat yang baru. Di daerah yang berpenduduk tidak padat, regrouping menimbulkan masalah transportasi bagi siswa yang harus pindah sekolah.

Salah satu alternatif pemecahan masalah ini adalah dengan pembelajaran kelas rangkap

(PKR). Dengan model ini, jumlah siswa yang tidak memenuhi ambang batas dibiarkan seperti

adanya, dua atau tiga tingkat dalam sekolah yang sama digabung dan diajar oleh satu guru. Karena itu, guru harus dibekali dengan pengelolaan siswa heterogen dalam kelas yang sama. Pembelajaran kelas rangkap juga dapat mengatasi masalah ketenagaan di sekolah, karena saat ini sebagian besar daerah kekurangan guru. Tidak banyak ditemukan sekolah dengan jumlah guru mencukupi, karena besarnya jumlah guru pensiun, sedangkan kuota pengangkatan guru baru dari pemerintah pusat jauh dari kebutuhan setiap tahun.

Implementasi dalam penelitian ini mengacu pada model PKR yang dikemukakan oleh Djalil, Wardani, dan Wihardit (1997), yang sebenarnya telah dikenal secara praktis oleh para guru di lapangan. PKR ternyata populer dan banyak dipakai di berbagai negara dalam kondisi di mana terdapat banyak sekolah kecil, seperti Australia, Meksiko, Kolombia.

Djalil, Wardani, dan Wihardit (1997), mengemukakan beberapa alasan mengapa model PKR diperlukan, yaitu 1) sulitnya transportasi peserta didik karena bermukim jauh dari sekolah, 2) banyaknya sekolah yang mempunyai jumlah siswa terlalu kecil, 3) secara keseluruhan, terjadi kekurangan jumlah guru, 4) sebagian disebabkan oleh penyebaran tidak merata, 5) kekurangan ruang kelas, dan kemungkinan ada guru yang tidak hadir, padahal tidak ada guru cadangan. PKR menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran umum, ditambah dengan beberapa prinsip khusus, yaitu 1) keserempakan kegiatan belajar mengajar, 2) waktu keaktifan akademik tinggi, 3) kontak psikologis guru murid berkelanjutan, dan 4) efisiensi pemanfataan sumber-daya.

Sementara itu, menurut Little (2005), PKR banyak dipakai dalam kondisi berikut.

1. Daerah dengan tingkat kepadatan penduduk rendah dengan lokasi sekolah tersebar sehingga jumlah siswa kecil.

2. Sekolah yang terdiri dari kelompok-kelompok kelas tersebar di beberapa lokasi.

3. Sekolah di daerah yang berangsur-angsur mengalami keadaan jumlah murid dan gurunya menurun.

4. Sekolah di daerah dengan pertumbuhan penduduk dan pengembangan sekolah pesat, tetapi jumlah guru belum mencukupi.

5. Sekolah di daerah, di mana orangtua memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit di luar daerah.

6. Sekolah yang menerima jumlah siswa melebihi batas, sehingga perlu dilakukan penggabungan kelebihan siswa dengan kelas lain.

7. Sekolah mobile yang berkeliling melayani berbagai kelompok.

8. Sekolah dengan tingkat absensi guru tinggi dan sulit mencari guru pengganti.

9. Sekolah-sekolah di daerah dengan penyebaran guru tidak merata.

10. Sekolah yang memang sengaja menyelengarakan model PKR.

Menurut Udin S Winatasaputra (dalam Djalil, Wardani, & Wihardit, 1997), ada beberapa model pengelolaan kelas dalam PKR, misalnya model dua kelas, dua mata pelajaran, satu ruangan, atau model dua kelas, dua mata pelajaran, dua ruangan. Pemilihan model yang cocok harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan kelas. Misalnya, jika ruang kelas cukup besar dan siswa dapat dikendalikan agar tidak saling terganggu oleh kehadiran kelompok siswa lain, model satu ruang dapat dipilih. Sebaliknya, jika ruang kelas kecil, sehingga tidak dapat menampung siswa dua kelas secara nyaman, model dua ruang dapat dipakai, dengan catatan keduanya mempunyai akses cukup mudah, sehingga guru dapat mengelola keduanya.

PKR telah dipakai di berbagai negara (Little, 2005). Di Australia, 40% sekolah di Northern Territories menggunakan PKR pada tahun 1988. Di Inggris, 25% kelas di sekolah dasar merupakan kelas PKR. Di India pada tahun 1996, 94% sekolah dasar adalah sekolah PKR. PKR juga ditemukan di hampir semua sekolah di Nepal, 21% sekolah di Irlandia Utara, 78% sekolah di Peru, dan 63% sekolah di Srilanka.

Untuk mengelola PKR memang diperlukan guru yang inovatif yang berbekal pengetahuan dan keterampilan dalam model-model pembelajaran non-konvensional. Guru konvensional banyak menggunakan model-model pembelajaran berpusat pada guru, sehingga pembelajaran didominasi oleh penggunaan metode ceramah. Dalam mengelola kelas PKR, pembelajaran harus diubah menuju model berpusat pada siswa. Guru tidak dapat lagi menempatkan diri sebagai satu-satunya sumber belajar. Berbagai sumber belajar harus dimanfaatkan secara optimal dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran juga. Metode pembelajaran berbasis keaktifan siswa, seperti diskusi, kerja kelompok, resitasi, eksperimen, tutor sebaya, merupakan metode yang harus lebih banyak digunakan.

Khusus tentang pembelajaran kelas heterogen dengan model PKR, Little (2005) mencatat beberapa dampak dalam hal perluasan akses, prestasi akademik, dan kepribadian/sosial siswa. Dalam hal akses, diperkirakan 15 – 25 juta anak usia sekolah di seluruh dunia tidak terakomodasi dengan pembelajaran monogradasi atau satu level. Dalam hal prestasi akademik, dilaporkan bahwa prestasi akademik anak PKR lebih baik daripada kelas satu level di negara-negara Togo, Colombia, Turki, Kepulauan Caicus, dan Indonesia. Hanya di Pakistan dilaporkan prestasi akademik mendukung kelas satu level. Dalam hal sosial/ personal, dilaporkan bahwa persahabatan, toleransi, konsep diri, dan sikap terhadap sekolah anak-anak di kelas PKR cenderung lebih baik atau sama dengan anak-anak di kelas satu level.

METODOLOGI

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan PKR di Kabupaten Pacitan, implementasinya di lapangan, dan hambatan yang ditemukan. Tempat penelitian adalah di Kabupaten Pacitan, yang terdiri dari 11 kecamatan dan mempunyai wilayah sebagian besar (80%) terdiri dari pedesaan. Kecamatan yang termasuk semi kota hanyalah daerah yang berbatasan atau dekat dengan ibukota kabupaten sendiri, sedangkan daerah pedesaan yang merupakan bagian terbesar masih berupa hutan. Dengan kondisi daerah seperti itu, letak sekolah-sekolah dasar tersebar, sehingga jika ada sekolah yang kekurangan murid, regrouping akan menyulitkan, bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru dan orangtua.

Peneltian ini menggunakan metode kualitatif. Data tentang perkembangan PKR, implementasi di lapangan, dan hambatannya dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara terbuka, pengamatan, dan analisis dokumen. Sumber data meliputi dokumen yang ada di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten dan di sekolah-sekolah yang mengimplementasikan PKR, para guru, orangtua, serta pejabat pemerintahan. Validasi data menggunakan triangulasi sumber, sedangkan analisis dilakukan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Pacitan yang terdiri dari 11 kecamatan memiliki jumlah sekolah dasar cukup

besar yang tersebar di semua wilayah. Ada beberapa permasalahan yang dihadapi, antara lain upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penanganan sekolah-sekolah dengan jumlah siswa

semakin menurun.

Perkembangan Kebijakan PKR/Multigrade Teaching

Upaya pengelolaan Pendidikan Dasar oleh Pemerintah daerah kabupaten Pacitan tidak

lepas dari peran serta MBE/Managing Basic Education (Program Pengelolaan Pendidikan Dasar). MBE adalah suatu bagian dari program USAID, dalam meningkatkan kemampuan SDM di tingkat daerah. Program ini diutamakan bekerja di tingkat kabupaten/kota, dengan mengembangkan praktek-praktek yang baik, yang sudah ada, serta mendorong pengembangan dan diseminasi praktek yang baik tersebut sekaligus gagasan-gagasan lain di tingkat kabupaten/kota. Praktek ini meliputi: 1). Fasilitas dan Pengelolaan Pegawai, 2). Pendanaan Sekolah, 3). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Peran Serta Masyarakat (PSM), serta 4). Proses Belajar Mengajar (CD-3, CHW- 1).

Keterlibatan MBE dimulai ketika ditandatanganinya Nota Kesepakatan (MoU) antara Bupati Pacitan dan Direktorat Program MBE, di Jogjakarta pada tanggal 2-4 September 2003. Fokus utama dari nota kesepakatan (MoU) antara Bupati Pacitan dan Direktorat Program MBE adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM), serta Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) di tingkat sekolah. Di dalam MoU tersebut, disebutkan MBE member kontribusi berupa bantuan teknis dalam upaya meningkatkan kemampuan SDM di tingkat Kabupaten Pacitan agar daerah tersebut mampu mengelola Pendidikan Dasar.

Tindak lanjut dari penandatanganan Nota Kesepakatan (MoU) tersebut adalah ditunjuknya pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan, sebagai pimpinan proyek Pengelolaan Pendidikan Dasar. Tindakan awal yang dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan adalah mengadakan pemetaan sekolah. Pemetaan oleh Tim yang terdiri dari unsur LSM, Pengawas Sekolah, Dewan Sekolah, dan Dinas Cabang dilakukan untuk mengetahui kondisi nyata sekolah, agar semua perencanaan Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan dalam penentuan kebijakan program berbasis pada data, sehingga program yang diimplementasikan dapat menjawab kebutuhan sekolah.

Pada tanggal 14-15 Februari 2005, dengan didampingi District Coordinator (DC) dan tiga orang Tim MBE-RTI dilaksanakan koordinasi program MBE bekerjasama dengan pejabat Pemerintah Kabupaten Pacitan yaitu pihak legislatif (Komisi B DPRD) dan pihak eksekutif (Bappeda dan Dinas Pendidikan).

Hasil koordinasi dengan pihak Dinas Pendidikan Kabupaten mengenai tindak lanjut

Pemetaan Sekolah adalah sebagai berikut.

1. Sudah dilaksanakannya diseminasi pemetaan sekolah di 10 kecamatan yang bukan binaan MBE, sehingga seluruh kecamatan sudah melakukan pemetaan sekolah.

2. Dinas Pendidikan Kabupaten telah membuat rencana untuk melaksanakan penggabungan sekolah (SDN), pendistribusian guru dan pembentukan PKR.

Dinas Pendidikan akan menindaklanjuti hasil pemetaan melalui program efisiensi manajemen pendidikan antara lain penggabungan sekolah/regroupimg dan penerapan PKR. Dengan banyaknya dukungan dari berbagai pihak maka Pemerintah Daerah akhirnya memberikan paying hukum berupa: dikeluarkannya SK Bupati No: 100/2005 mengenai Penggabungan dan Perubahan Status Sekolah Dasar di Kabupaten Pacitan, pada tanggal 13 Juni 2005, agar pelaksanaan program yang dikelola oleh pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan legal dan berkekuatan hukum.

Menururt SK tersebut, ada 14 buah sekolah kecil yang diregroup menjadi 7 sekolah, dan ada 35 buah sekolah yang dipertahankan sebagai sekolah kecil dengan model PKR Menindaklanjuti dikeluarkannya SK Bupati Nomor: 100/2005 mengenai Penggabungan dan Perubahan status Sekolah Dasar di Kabupaten Pacitan, kemudian pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan memberi bekal pelaksanaan kepada 33 sekolah dasar yang telah resmi ditetapkan sebagai Sekolah Kelas Rangkap, melalui penyelenggaraan pelatihan/workshop tentang PKR pada tanggal 2-4 Agustus 2005. Pelatihan tahap I diselenggarakan di gedung KPRI Hikmah dengan dihadiri oleh 40 peserta, dari 6 SD yang akan melakukan perubahan ketenagaan.

Beberapa perwakilan dari kabupaten lain juga hadir, di antaranya: kabupaten Probolinggo 2 orang, Banyuwangi 1 orang, dan Batu 1 orang. Pelatihan difokuskan pada 3 hal yaitu: 1) struktur dan organisasi sekolah dengan Kelas Rangkap, 2) pengorganisasian dan perencanaan untuk Kelas Rangkap, dan 3) strategi pembelajaran untuk Kelas Rangkap. Kepala Seksi Program pada Dinas Pendidikan Pacitan kemudian meminta satu sesi lagi, pada saat Pelatihan/Workshop tersebut, terkait informasi mengenai kelas rangkap yang diberikan kepada 33 kepala sekolah setempat dan stakeholder. Tujuannya ialah untuk memberikan penjelasan singkat mengenai pelatihan dan memberikan kesempatan kepada stakeholder untuk mendiskusikan perubahan-perubahan yang akan datang di sekolah-sekolah.

Pada September 2006, konsultan MBE menindaklanjuti hasil pelatihan dengan mengunjungi dan melihat langsung pembelajaran pada sekolah yang melaksanakan PKR. Tujuan kunjungan ini untuk melihat sejauh mana sekolah mampu menerapkan pola dan metode mengajar PAKEM pada kelas rangkap serta ingin mendapatkan masukan-masukan, kendala yang dihadapi, dan untuk menyusun kegiatan dan fasilitasi berikutnya. Dari hasil kunjungan tersebut, Diknas, melalui informasi dari MBE, mendapat laporan bahwa: dari 6 sekolah yang telah mengikuti Workshop/ Pelatihan, tahap I, hanya 2 sekolah saja (SDN Punung 2 di kecamatan Punung dan SDN Sidoharjo 2 di kecamatan Pacitan), yang antusias dan sudah mulai mencobakan PKR tersebut. Pihak Dinas Pendidikan akhirnya sepakat menetapkan kedua SDN tersebut, sebagai pilot/ rujukan program PKR. Kedua sekolah tersebut memang mempunyai motivasi tinggi, mengikuti dan melaksanakan program baru, yaitu PKR, terutama tenaga guru honorer yang selalu bertanya seputar teknis pembelajaran.

Hal senada juga disampaikan fasilitator daerah/District Fasilitator MBE di Pacitan dan Kasi Progam Diknas untuk TK & SD. Hambatan dan Solusi Pelaksanaan PKR PKR yang diciptakan Pemerintah Daerah sebagai sebuah ”solusi”, justru menjadi sebuah ”permasalahan baru”. Resistensi dari pihak pelaksana terutama guru, dapat diduga sebagai salah satu hambatan pelaksanaan PKR, selain hambatan dari sekolah mengenai keterbatasan dana pendukung program dan hambatan dari pihak pemerintah daerah yang belum mampu melengkapi perangkat pembelajaran, seperti kurikulum dan modul PKR.

Hambatan dari guru.

Hambatan dari pihak guru sebagai pelaksana, muncul akibat dari akumulasi beberapa keluhan/kondisi psikis guru setelah diimplementasikannya keputusan inovasi pembelajaran oleh Pemerintah Daerah, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Kenyamanan bekerja terganggu dengan akan adanya ancaman mutasi. Untuk memenuhi sebuah kriteria sekolah Kelas Rangkap yang hanya membutuhkan 3 guru dan 1 kepala sekolah, maka setiap saat mereka harus siap dimutasi. Saat penelitian ini dilakukan, rata-rata sekolah yang ditunjuk untuk melaksanakan PKR, mempunyai 6 orang guru dan 1 kepala sekolah.

2. Tidak adanya sosialisasi sebelum diterbitkannya surat keputusan. Hal ini mengakibatkan tidak pahamnya pihak pelaksana mengenai visi, misi, dan filosofi inovasi PKR, sehingga wajar apabila program pembelajaran tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan menjadi tujuan pihak inovator (MBE-Pemerintah Daerah).

3. Bertambahnya pekerjaan administratif, pekerjaan akademik, pelayanan dan tanggung jawab guru terhadap siswa karena guru mengajar Kelas Rangkap. Hal yang paling mencolok dikeluhkan oleh guru-sebagai pelaksana program adalah perubahan paradigma tentang belajar-mengajar.

Selama ini perubahan metode belajar-mengajar telah banyak diterima guru melalui banyak simposium, seminar, workshop, tetapi semuanya (sekali lagi) berpulang kepada masing-masing guru yang menganggap metode mereka sendiri yang paling sesuai (terlepas baik atau tidak).

Sebab metode yang mereka lakukan selama ini memberikan rasa aman pada saat mereka melakukan pembelajaran, selain nilai siswa juga meningkat, sehingga wajar apabila guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang selalu mereka lakukan dan tidak ingin mengubah sistem atau metode yang sudah mereka laksanakan bertahun-tahun tersebut.

4. Melekatnya budaya Top Down Management pada guru membuat guru tidak mempunyai inisiatif untuk mendukung dan berpatisipasi aktif dalam menyukseskan program PKR/Multigrade Teaching.

Hambatan dari sekolah.

Hambatan dari sekolah adalah tidak tersedianya dana pendukung program PKR. Padahal penyediaan dana tambahan dari sekolah adalah mutlak, akibat perubahan pembelajaran dan fisik kelas. Bila hal tersebut tidak terpenuhi maka mustahil pembaharuan pembelajaran seperti yang diharapkan pada saat pelatihan, dapat dilaksanakan. Dana BOS yang ada di sekolah telah dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan individu jauh sebelum PKR ini diterapkan.

Hambatan dari Pemerintah Daerah

1. Hambatan dari Pemerintah Daerah adalah belum adanya kurikulum khusus dan modul untuk

PKR, hal ini sangat mempengaruhi guru dalam membuat tindakan-tindakan produktif di kelas.

2. Belum jelasnya keputusan mengenai jangka waktu pelaksanaan PKR dari Pemerintah Daerah, membuat guru setengah hati dan gamang melakukan PKR.

Langkah Penanganan oleh pemerintah

Tindakan yang sudah dilakukan Pemerintah Daerah, selama pelaksanaan PKR adalah sebagai berikut.

1. Penataan personel, seperti penataan personel di SDN Punung 2, yaitu pemindahan 1 guru baru ke SD lain. Akan tetapi penataan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah tidak maksimal.

Banyak guru yang mempunyai ikatan emosional dengan Pemerintah Daerah, tidak mau dimutasi, akhirnya perampingan tenaga pengajar hanya dapat dilakukan dengan menunggu guru-guru tertentu pensiun. Kasus seperti ini seharusnya tidak akan terjadi, apabila Pemerintah Daerah sudah melakukan sosialisasi program, misalnya seperti berikut.

a. Mengenai kepastian penataan personil akibat inovasi, siapa target yang akan dimutasi?

b. Arah/tujuan diadopsinya sebuah inovasi, benarkah inovasi digunakan untuk peningkatan kualitas dan efisiensi pendanaan juga efisiensi sumber-sumber belajar?

c. Bagaimana cara mencapai inovasi tersebut?

Apabila visi, misi, dan filosofi pelaksanaan inovasi ini telah dibicarakan dengan multi-stakeholder,

khususnya pihak pelaksana sebelum mengambil keputusan, maka semua pihak akan lebih dapat menerima dengan baik. Jikapun beberapa dari mereka, khususnya pihak guru sebagai pelaksana belum dapat menerima dengan baik, maka Pemerintah Daerah perlu mengadakan pembinaan khusus atas tanggung jawab pekerjaan sebagai pegawai negeri, sesuai dengan Undang-undang, yaitu sebagai pegawai pemerintah yang siap ditempatkan di mana saja (dalam negeri Indonesia) bukan sebagai pegawai lokal, yang siap ditempatkan di daerah tertentu saja.

2. Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi program PKR melalui SK Bupati Nomor: 100/2005 dan diikuti Workshop. Sosialisasi program yang dilakukan melalui SK Bupati Nomor: 100/2005 dipandang pihak pelaksana sebagai perintah bukan sebagai sosialisasi program. Hal yang seharusnya dilakukan Pemerintah Daerah adalah mengubah kebijakan Top-Down Management menjadi Bottom Up Management, contohnya yaitu dengan melakukan sosialisasi program, seperti yang telah dibahas di atas, dengan melibatkan multi-stakeholders; guru, administrator, orang tua siswa, siswa dan masyarakat, melalui pertemuan khusus, sebelum perintah melaksanakan program dilakukan.

3. Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan melaksanakan Workshop/ Pelatihan PKR diikuti dengan Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk menjawab kebutuhan guru (pelaksana program) dalam mengelola PKR, akan tetapi Pemerintah Daerah belum memperhatikan kontribusi guru Kelas Rangkap, yang pada kenyataannya mereka bertambah pekerjaan administratif, beban akademik, pelayanan dan tanggung jawab siswa. Dua hal yang seharusnya dilakukan Pemerintah Daerah adalah sepeti berikut. Pertama, Pemerintah Daerah mengeluarkan SK guru PKR, dengan insentif yang berbeda karena multi pekerjaan administratif, pekerjaan akademik, multi pelayanan dan multi tanggung jawab siswa. Kedua, membuat hubungan kerjasama yang sinergis antar kepala seksi program mengenai kejelasan job description untuk: a. memfasilitasi pelatihan, b. memfasilitasi pertemuan rutin untuk evaluasi program, c. pendampingan proses pembelajaran, dan d. Pengawasan mutu pembelajaran.

Selama ini hubungan antar kepala seksi kurang harmonis, sehingga mengakibatkan terjadinya hal-hal berikut.

a. Informasi mengenai kegiatan program simpang-siur.

b. Pelaksanaan pelatihan PKR yang ditentukan dan diselenggarakan oleh pihak Dinas

Pendidikan, belum dapat dilaksanakan, padahal guru sebagai pelaksana sangat memerlukan

keberlanjutan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mengajar Kelas Rangkap mereka.

c. Pertemuan untuk evaluasi program ditentukan oleh pihak Dinas, bukan diadakan atas inisiatif kelompok sekolah Kelas Rangkap, pada saat tiap-tiap sekolah Kelas Rangkap tersebut

menemui masalah teknis. Padahal pelaksanaan PKR, sebagai pembelajaran yang baru bagi guru, pasti mendatangkan banyak permasalahan (terutama masalah teknis) yang harus sering dievaluasi dan dicarikan solusi bersama melalui pertemuan, misalnya KKG.

d. Tidak adanya pendamping mutu pelaksanaan PKR, yang mengakibatkan guru melaksanakan PKR semampu dan sesuka mereka. Selama ini pendampingan hanya dilakukan ketika ada kunjungan dari pihak tertentu.

e. Ketidaksinergian antarpengelola program juga terlihat ketika merebak isyu bahwa satu sekolah (Sidoharjo 2) yang sudah di-SK-kan melaksanakan PKR, akan diubah untuk digabung, oleh BAPEDA, mengingat jarak sekolah tersebut hanya berkisar 1,5 Km dengan sekolah lain (Sidoharjo 1), sementara hal ini belum diketahui oleh Dinas Pendidikan.

4. Pemerintah Daerah mengeluarkan mandat penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS), untuk mendukung dan memfasilitasi Pelaksanaan PKR. Hal ini tidak disambut baik oleh pihak pelaksana (kelompok sekolah Kelas Rangkap), mengingat dana tersebut sudah lebih dahulu dialokasikan untuk kebutuhan siswa. Pada kenyataannya memang Dana BOS hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tiap siswa, dan jika satu sekolah hanya mempunyai maksimal 60 siswa, maka sangat masuk akal bila dana BOS tersebut tidak cukup untuk membiayai kegiatan makro organisasi tersebut. Pemerintah Daerah hendaknya memperhatikan kondisi keuangan sekolah, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pengeluaran dana Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM), yang memang diberikan untuk pengembangan program.

5. Keluarnya SK Bupati Nomor: 100/2005 yang tidak menyertakan petunjuk pelaksanaan program, membuat antar sekolah Kelas Rangkap menjadi gamang/ragu-ragu, dan saling iri untuk melaksanakan program tersebut. Pemerintah Daerah seharusnya menerbitkan SK Bupati

lengkap dengan petunjuk pelaksanaan (juklak).

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kebijakan penerapan PKR di Kabupaten Pacitan disebabkan oleh kondisi semakin menurunnya jumlah siswa di beberapa sekolah. Ada dua alternative pemecahan, yaitu dengan regrouping atau dengan sekolah kecil berbasis PKR. Secara geografis, ternyata tidak semua sekolah kecil dapat diregroup, sehingga muncullah SK Bupati yang mengesahkan 35 SD sebagai SD dengan PKR.

Berdasarkan atas masalah yang dihadapi oleh Kabupaten Pacitan, USAID memberikan

bantuan melalui program MBE, yang awalnya terfokus pada pengelolaan sekolah, lalu dikembangkan menjadi kegiatan pelatihan PKR. Walaupun telah diangkat konsultan dan fasilitator, di samping juga telah dikembangkan modul pelatihan, ternyata PKR tidak berjalan mulus. Hambatan yang ada dapat dikelompokkan sebagai berikut.

1. Hambatan dari guru.

a. Kenyamanan bekerja terganggu dengan akan adanya ancaman mutasi.

b. Tidak adanya sosialisasi sebelum diterbitkannya Surat Keputusan.

c. Bertambahnya pekerjaan administratif, pekerjaan akademik, pelayanan dan tanggung jawab guru terhadap siswa, sebagai konsekuensi guru mengajar Kelas Rangkap.

d. Melekatnya budaya Top Down Management pada guru membuat guru tidak mempunyai inisiatif untuk mendukung dan berpatisipasi aktif dalam mensukseskan program PKR.

2. Hambatan dari sekolah.

Hambatan dari sekolah adalah tidak tersedianya dana pendukung program PKR. Dana BOS yang ada di sekolah telah dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan individu jauh sebelum PKR ini diterapkan.

3. Hambatan dari Pemerintah Daerah

a. Hambatan dari Pemerintah Daerah adalah belum adanya kurikulum khusus dan modul untuk PKR, hal ini sangat mempengaruhi guru di dalam membuat tindakan-tindakan produktif di kelas.

b. Belum jelasnya keputusan mengenai jangka waktu pelaksanaan PKR dari Pemerintah

Daerah, membuat guru setengah hati dan gamang melakukan PKR.

Melihat perkembangan penerapan PKR, beberapa implikasi dan saran disajikan sebagai berikut.

1. Diperlukan kegiatan sosialisasi dan pelatihan lanjutan tentang PKR.

2. Materi pelatihan difokuskan pada strategi pembelajaran, adaptasi kurikulum/materi ajar, dan

evaluasi pembelajaran.

3. Pemerintah daerah perlu menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil dengan menjadikan 35 sekolah menjadi sekolah kecil PKR adalah merupakan kebijakan serius, dengan perlakuan yang memadai juga, misalnya dalam hal pendanaan.

REFERENSI

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Indonesia: Educational indicators. Jakarta: Badan Penelitan dan Pengembangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan .

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2003). Indonesia: Educational statistics in brief. Jakarta: Badan Penelitan dan Pengembangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Djalil, Wardani, & Wihardit. (1997). Pembelajaran kelas rangkap. Jakarta: Universitas Terbuka.

Jurnal Pendidikan, Volume 8, Nomor 2, September 2007, 73-82

82

Little, A.W. (2005). Learning and teaching in multigrade settings. Paper presented for the UNESCO 2005 EFA Monitoring Report.

Lloyd, L. (1999). Multi-age classes and high ability students. Review of Educational Research, 69 (2), 187-212.

Jurnal Penelitian Ekonomi dan Bisnis

1.

DAMPAK DEFISIT ANGGARAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

Hendrin H. Sawitri (hendrin@mail.ut.ac.id)

Universitas Terbuka

ABSTRACT

The purpose of the research is to analyze the effect of budget deficit on economic growth. This analysis implements general evaluation estimator which is used in Didiek Susety researched (2001). Data economic variables used annually 1995 – 2005. Findings shows that budget deficit have negative effect on economic growth, while the lag of ratio export income (PDB) have positive effect, that indicate export probably to increase. The attention to uphold the economic growth that some condition, accountability and transparency of government budget, fairly state-local government fiscal balance, support to increasing export and through out of crisis the Indonesia people.

Key words: budget deficit, economic growth, fiscal policy, subsidy

Pembangunan ekonomi merupakan salah satu tujuan utama bagi negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pembangunan ekonomi tidak hanya tertumpu pada pertumbuhan ekonomi saja tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan, keamanan, serta kualitas sumberdaya termasuk sumberdaya manusia dan lingkungan hidup. Khususnya pertumbuhan ekonomi, diperlukan kebijakan yang kondusif agar tercapai peningkatan pertumbuhan ekonomi setiap tahun sesuai dengan yang sudah ditargetkan.

Pertumbuhan ekonomi yang sudah ditargetkan setiap tahunnya mencerminkan kinerja perekonomian pada tahun tersebut sedangkan kinerja ekonomi itu sendiri sangat tergantung pada kondisi internal maupun eksternal dari negara yang bersangkutan. Sementara itu, kondisi eksternal sangat terkait dengan keadaan perekonomian dunia yang semakin mengglobal. Sebagai contoh bahwa kondisi eksternal Indonesia terkait dengan permasalahan krisis dunia pada saat ini perhatikan dua kondisi berikut ini yaitu pertama, meningkatnya harga minyak mentah dunia yang mencapai 60 US$ per barel per Januari 2006. Ke dua, adanya krisis moneter dimana nilai kurs dollar terhadap rupiah semakin meningkat sampai Rp 9.460,00 per Januari 2006.

Naiknya harga minyak mendorong Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia meninjau kembali perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia. Laporan ADB pada bulan April 2005 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Timur pada tahun rata-rata 6,7% hingga 7,2%. Nampaknya angka tersebut harus direvisi. Pemerintah dalam asumsi makro APBN 2005 penyesuaian, proyek pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,5%, inflasi 7,0%, suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) 8,0%, nilai tukar rupiah Rp 8.900,00 per dollar Amerika Serikat dan harga minyak sebesar 35 dollar AS per barrel serta produksi minyak sebesar 1,125 juta barrel per hari. Atas dasar asumsi tersebut, dalam patokan dasar anggaran, subsidi bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan akan naik dari Rp 19 triliun menjadi Rp 60,1 triliun sehingga ada kenaikan pembayaran subsidi sebesar Rp 41,1 triliun. Hal ini mengakibatkan terjadi pembengkakan defisit anggaran sekitar 1,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengakibatkan kekurangan pembiayaan cukup signifikan dan sangat membebani keuangan negara. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang melonjak pada akhir-akhir ini akan memperparah krisis ekonomi, yaitu menyebabkan subsidi BBM yang harus dibayar pemerintah melonjak drastis. Asumsi makro tersebut sudah tidak relevan lagi karena nilai tukar dan harga minyak dunia sudah sangat jauh berbeda. Untuk itu pemerintah sebaiknya merevisi asumsi tersebut.

Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) masih menunjukkan defisit yang kian membesar, hal ini akibat dari semakin besarnya subsidi yang harus dikeluarkan terutama BBM. Sementara itu dari sisi penerimaan dari pajak belum menunjukkan hasil yang maksimal meskipun upaya penarikan pajak dengan memperluas basis pajak telah dilaksanakan. Di sisi lain kebijakan fiskal yang merupakan salah satu piranti kebijakan pemerintah cenderung mengalami distorsi dalam implementasinya. Misalnya, fenomena munculnya pengelolaan dana negara APBN terutama pada Goverment Expenditure menjadi sasaran empuk pengelolaan yang tidak sesuai aturan.

Berbagai upaya reformasi kebijakan fiskal sering dilakukan agar perekonomian berjalan pada jalur yang benar. Namun hal ini belum berhasil karena pengaruh kebijakan non ekonomi yang lebih dominan misalnya saja adanya masalah sosial dan kesehatan serta terjadinya bencana alam yang tidak dapat diperkirakan. Bermula dari krisis ekonomi tahun 1997 hingga sekarang berlanjut dengan krisis-krisis lain mengakibatkan perekonomian Indonesia masih sangat sulit untuk tumbuh positif.

Krisis ekonomi ditandai dengan menurunnya permintaan agregat sehingga kondisi perekonomian menunjukkan adanya ciri-ciri depresi seperti menurunnya daya beli secara drastis, berkurangnya bahkan hilangnya minat investasi asing, dan meningkatnya pengangguran di berbagai sektor. Kondisi tersebut diperparah oleh sisi penawaran yang semakin turun. Bukan saja produksi yang menurun tetapi juga terjadi ketidakkondusifan berbagai kebijakan yang mengakibatkan daya respon (elastisitas) penawaran sangat lemah. Perkembangan pertumbuhan ekonomi dan defisit anggaran.

Kebijakan fiskal dalam perekonomian dituangkan dalam bentuk pos-pos yang tercantum pada dua sisi yaitu penerimaan dan belanja pemerintah. Fungsi fiskal meliputi tiga aspek penting yang mencerminkan peran pemerintah dalam perekonomian yaitu sebagai fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Menurut Romer (1996), secara simultan fungsi fiskal bertujuan untuk menciptakan kondisi makro ekonomi secara kondusif dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan tenaga kerja yang sekaligus menekan jumlah pengangguran, pengendalian tingkat inflasi, dan mendorong distribusi pendapatan yang semakin merata.

Gambaran APBN di Indonesia tercermin pada pos dalam anggarannya. Sisi penerimaan negara mencakup semua penerimaan dari pajak dan bukan pajak, sedangkan sisi pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

Ada beberapa alternatif untuk mencapai hal tersebut yaitu dengan mengupayakan penerimaan dalam negeri dapat ditingkatkan, mengupayakan berkurangnya ketergantungan utang luar negeri, dan menekan pengeluaran negara dengan menerapkan skala prioritas tinggi serta yang sedang marak pada pemerintahan yang sekarang sedang berjalan adalah dengan pemberantasan korupsi.

Defisit anggaran menjadi penting dalam masa krisis sehingga banyak persoalan menjadi dilematis dalam memilih kebijakan fiskal yang tepat. Defisit ataupun surplus anggaran ini menjadi isu penting untuk dikaji karena dalam siklus bisnis defisit anggaran menjadi pembahasan yang cukup serius dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dari permasalahan tersebut maka artikel ini akan mengkaji kebijakan fiskal khususnya untuk mengetahui dampak kebijakan defisit anggaran terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Komposisi APBN Indonesia terdiri dari sisi penerimaan negara dan sisi pengeluaran belanja negara. Sisi penerimaan negara mencerminkan kemampuan negara dalam menggali sumber-sumber penerimaannya yang potensial untuk memperbesar tabungan pemerintah. Hal ini tercermin pada semua penerimaan dari pajak dan bukan pajak. Pada sisi pengeluaran mencerminkan kebutuhan belanja negara yang harus dibiayai dari penerimaan negara, hal ini tercermin pada semua pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

Surplus atau defisit anggaran adalah selisih antara pendapatan negara plus hibah dengan belanja negara. Surplus bila hasilnya positif dan defisit bila hasilnya negatif. Apabila kita membahas tentang kebijakan fiskal di Indonesia maka kita harus memahami struktur penerimaan dan pengeluaran APBN. Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada tahun 2004 terdapat defisit anggaran sebesar 26.271,5 miliar rupiah sementara cicilan utang yang harus dibayar sebesar 45.524,5 miliar rupiah. Dana yang digunakan pemerintah untuk membayar cicilan ini berasal dari dalam negeri sebesar 50.050,5 miliar rupiah ditambah dengan utang pemerintah baru sebesar 21.745,6 miliar rupiah sehingga pembiayaan defisit bersih adalah 26.271,5 miliar rupiah.

Defisit anggaran pada tahun 2004 dan 2005 berselisih sedikit yaitu sebesar 1,3 dan 0,9. Defisit ini lebih kecil dari tahun 2000 yang sebesar 4,9 persen. Penurunan defisit ini karena sudah mulai diberlakukannya program pelaksanaan pengurangan subsidi BBM yang cukup controversial dikalangan masyarakat. Namun dengan program tersebut paling tidak defisit negara bisa dikurangi.

Selain itu pengenaan PPn di pulau Batam sedang dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengurangi defisit anggaran yang akan datang. Pemerintah cenderung menetapkan rencana APBN dan RAPBN yang bersifat defisit , hal ini mempunyai alasan yang diyakini bahwa penetapan tersebut mengacu pada beberapa asumsi dasar makro. Sebagai ilustrasi asumsi dasar makro dapat dilihat pada Tabel 3.

Penerimaan Negara

- Perpajakan

- Bukan Pajak

- Hibah

Pengeluaran Negara

- Belanja Pemerintah Pusat

- Belanja Pemerintah Daerah

Keseimbangan primer

Surplus/Defisit

Pembiayaan

- Pembiayaan Dalam Negeri

- Pinjaman Luar Negeri

- Cicilan Utang Luar Negeri

Rata-rata

Bagaimana asumsi dasar tersebut tidak terpenuhi? Ada dua alternatif penyelesaiannya: 1) melakukan perubahan dalam RAPBN dengan menyesuaikan asumsi dasarnya, dan 2) harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai target paling tidak mendekati sasaran dengan besaranbesaran asumsi dasarnya. Ketidaktepatan asumsi dasar menunjukkan sasaran yang tidak realistis karena sasaran tersebut tidak seluruhnya ditentukan oleh variabel ekonomi tetapi variabel nonekonomi justru lebih dominan (Susetyo, 2001).

Konsep Keynes untuk mengatasi keadaan krisis ekonomi dengan mendongkrak permintaan melalui defisit fiskal, tidak akan memecahkan persolalan (Boediono 2000). Hal ini karena respon sisi penawaran relatif lemah maka kenaikan permintaan justru akan memicu kenaikan harga daripada kenaikan output. Apabila ingin melakukan stimulasi sisi permintaan harus disertai dengan upaya untuk meningkatkan daya respon penawaran (Susetyo, 2001). Hal ini terjadi akibat kelebihan kapasitas di berbagai sektor yang tidak menjamin adanya respon penawaran karena adanya system birokrasi kelembagaan yang panjang dan tidak efisien. Sebagai langkah konkritnya harus ada pembenahan kerusakan kelembagaan tersebut.

Program stimulasi permintaan bukanlah hal yang mudah karena: 1) stimulasi kebijakan fiscal mempunyai ruang gerak yang terbatas karena beban hutang pemerintah sangat besar, 2) investasi swasta terutama swasta asing masih belum pulih dan 3) ekspor yang seharusnya kompetitif karena depresiasi rupiah ternyata tidak meningkatkan ekspor secara kualitatif maupun nominal serta 4) naiknya harga minyak dunia yang menembus 62 US$/barrel memperparah kondisi perekonomian .

Pada kondisi krisis semacam ini yang dapat mendorong perubahan permintaan agregat adalah tingkat konsumsi. Namun pengeluaran konsumsi tidak dapat diandalkan untuk menjadi penentu kenaikkan pendapatan nasional sebab konsumsi tidak bersifat otonom artinya hanya dapat meningkat apabila telah tercipta daya beli baru di tangan konsumen. Pada hal daya beli masyarakat cenderung menurun karena adanya inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga BBM.

Kunci untuk menstimulir sisi permintaan terletak pada bangkitnya investasi swasta dan ekspor. Langkah ini dapat ditempuh dengan tiga cara: 1) upaya tersebut sangat tergantung pada kinerja untuk mengembalikan kepercayaan investor dan menghilangkan berbagai hambatan di sisi penawaran, 2) upaya pembenahan agar fungsi institusi pendukung dalam proses produksi dan distribusi berjalan kembali, 3) upaya keluar dari krisis harus berupa tindakan yang kondusif dan simultan untuk menstimulasi permintaan agregat.

Menyimak asumsi dasar makro tahun 2005 dimana tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% dengan inflasi sebesar 7% dan suku bunga SBI 8% serta menyimak komposisi RAPBN 2005 dengan rencana defisit 0,9% dari PDB maka banyak hal yang harus dikerjakan oleh pemerintah dan seluruh masysrakat Indonesia. Untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi diperlukan suatu injeksi investasi yang cukup besar meskipun pada keadaan itu ada indikasi ekspansif kecil namun angka pengganda masih relatif kecil sehingga gerak stimulus fiskal untuk pertumbuhan sangat rendah.

Dengan demikian diperlukan usaha lain yaitu dengan mendongkrak tabungan yang merupakan sumber untuk investasi. Investasi ini seyogyanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, artinya tidak ada penyimpangan secara ekonomis sehingga dapat meningkatkan sisi penawaran.

Penggunaan Metode Lag pada Variabel Independen.

Dalam ilmu ekonomi ketergantungan suatu variabel Y (variabel dependen) atas variabel X (independen) jarang bersifat seketika, terutama yang menyangkut suatu kebijakan. Seringkali Y bereaksi terhadap X dengan suatu selang waktu. Selang waktu seperti itu disebut lag. Lag pada variabel rasio Ekspor terhadap PDB mempunyai pengaruh waktu, dimana suatu kebijaksanaan ekspor akan mempunyai selang waktu untuk berpengaruh terhadap pertumbuhan.

Hasil Penelitian

Dengan model tersebut, berdasarkan data periode waktu pengamatan dari tahun 1986 sampai dengan 2005 ( perkiraan IFS ) , maka dengan persamaan regresi dan dengan mempergunakan program Eviews-5 diperoleh hasil sebagai berikut.

rPDB= 9,12 – 0,000788 Def-1 + 78,65(X/PDB)-1 -1,40(M/PDB)-1

(2,18) (-3,67)* (1,77)* * (-0,107)

R-square : 0,459

DW stat : 2,152

F stat : 4,534

*Signifikan pada 95%

** Signifikan pada 90%

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel lag defisit berpengaruh secara negative terhadap variabel dependen dan signifikan pada 95%, variabel lag rasio impor terhadap PDB berpengaruh negatif terhadap variabel dependen, variabel rasio ekspor terhadap PDB dan variable lag PDB mempunyai pengaruh positif terhadap variabel dependen dan signifikan pada 90%.

Hasil penelitian tersebut mengindikasikan adanya gejolak perekonomian akan berdampak pada sisi penerimaan yang mengakibatkan pula kenaikan defisit anggaran dan gejolak perekonomian juga akan berdampak negatif pada sisi impor. Hal ini akan berpengaruh secara negatif pula pada pertumbuhan ekonomi. Keadaan sekarang yang merupakan dampak adanya krisis harga BBM dan nilai tukar dollar terhadap rupiah akan memperparah defisit anggaran karena subsidi yang akan dikeluarkan akan sangat membebani sisi pengeluaran negara. Hal ini akan sangat mengkhawatirkan apabila terjadi inflasi yang tinggi akibat dari tingginya bahan baku impor. Demikian pula kebijakan fiskal yang dikeluarkan belum dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa sisi ekspor berhasil memacu kenaikan pertumbuhan ekonomi

secara positif, ekspor masih menyimpan harapan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Arah peningkatan ini diharapkan dapat didorong dari ekspor barang yang mempunyai kandungan local yang tinggi sehingga tidak terpengaruh oleh tingginya harga bahan baku impor. Harapan selanjutnya adalah ekspor mempunyai daya saing yang tinggi di pasar internasional.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebijakan fiskal dari sisi permintaan melalui defisit anggaran belanja dalam situasi krisis pada akhir-akhir ini tidak banyak mengatasi masalah karena bertambahnya permintaan yang tidak mendapat respon dari penawaran. Hal ini tidak akan memperbaiki perekonomian. Namun demikian, stimulus fiskal dapat dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan hanya pada unsur permintaan yang berpeluang tinggi sajalah yang mungkin harus didorong pengembangannya.

Dari hasil kajian ditemukan bahwa sisi ekspor sangat berpeluang dalam meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, hal ini merupakan momen yang tepat untuk mengembangkan pasar ekspor terutama ke negara yang mempunyai tingkat permintaan yang tinggi seperti China, Timur Tengah dan Eropa Timur. Namun dorongan ke arah ekspor diimbangi dengan kehati-hatian dimana yang perlu dipriorotaskan adalah komoditi yang mempunyai kandungan lokal yang tinggi, sehingga tidak terpengaruh oleh tingginya harga bahan baku impor. Namun demikian ekspor komoditas primer belum mendatangkan devisa yang tinggi, peningkatan ekspor yang dinamis terdapat pada komoditas non-migas maka kinerja dari ekspor ini tergantung dari arus masuk investasi terutama PMA yang mempunyai teknologi know-how yang mampu meningkatkan daya saing. Kebijakan defisit anggaran ternyata belum mendapat respon dari sisi penawaran. Stimulus ini hendaknya dibarengi dengan sisi moneter terutama dalam penentuan suku bunga pinjaman dan SBI baik untuk UKM maupun pengusaha besar.

Dengan naiknya harga minyak dunia yang mencapai level 60 $ US per barel pada tahun 2005 sangat memukul impor minyak mentah yang merupakan bahan baku ekspor minyak kita dan untuk mencukupi konsumsi dalam negeri. BBM merupakan barang primer dan utama dalam menciptakan produksi nasional, karena mempunyai daya derivasi yang tinggi terhadap produk lain.

Signifikansi harga BBM dunia mengakibatkan harga impor cenderung meningkat. Hal ini sangat membebani subsidi yang pada akhirnya defisit anggaran negara semakin besar. Pemerintah telah berupaya menghimbau untuk pemakaian BBM yang lebih irit. Dalam jangka pendek upaya tersebut seharusnya dapat mengerem konsumsi BBM, namun dalam jangka panjang konsumsi yang semakin meningkat tersebut harus dibarengi dengan optimalisasi produksi BBM dalam negeri dan harus dibarengi pula dengan regulasi kebijakan dalam tata pengelolaan produksi dan distribusi BBM serta eksplorasi baru sumber BBM dan penggalakan penggunaan bahan bakar lain selain BBM.

Defisit anggaran yang diperkirakan 0,8% (APBN-P) dari PDB dalam APBN 2005 terlihat bersifat ekspansif dibanding dengan tahun 2004 sebesar 1,3% dari APBN 2004. Namun sifat ekspansif ini tidak diimbangi dengan efek multiplier pengeluaran yang diperkiraan relatif lebih kecil, sehingga tidak mempunyai daya stimulasi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini diakibatkan sebagian dana digunakan untuk membayar cicilan dan bunga utang dan membayar subsidi BBM yang semakin besar serta membayar bunga obligasi publik maupun swasta.

Untuk selanjutnya langkah kebijakan fiskal harus dilengkapi dengan kebijakan lainnya terutama kebijakan untuk mendorong sisi penawaran serta pembenahan institusi yang menghambat kinerja sisi penawaran. Beberapa kebijakan sebagai alternatif perbaikan perekonomian antara lain: 1) penghematan di segala lini, terutama penghematan sumberdaya alam, termasuk konservasi hutan, pemberantasan illegal loging, penggunaan BBM, pemberantasan korupsi, praktek-praktek mark-up, dan lain sebagainya, 2) penegakan pada keamanan dan ketertiban serta hukum yang berlaku untuk mengembalikan kepercayaan investor, 3) pembenahan birokrasi serta koordinasi antara para menteri, DPR dan penegak hukum dalam mengambil keputusan dan kebijakan agar tidak merugikan rakyat, 4) pencabutan subsidi BBM merupakan langkah yang paling rasional untuk mengurangi tekanan defisit anggaran yang terus membesar, 5) memperbaiki ekspektasi return di outlet investasi domestik dengan mempermudah pelaksanaan agenda penerbitan SUN, 6) perlu dikembangkan semacam lembaga kliring (clearing haouse) untuk menangani permintaan dan pasokan dollar dari seluruh BUMN, tidak terbatas pada Pertamina. Kelebihan permintaan atau pasokan lembaga kliring dollar AS dari BUMN ini akan dilempar ke pasar. Kurs yang digunakan oleh lembaga kliring tersebut sama dengan kurs umum untuk menghindari adanya diskriminasi harga.

REFERENSI

Boediono. (2000). Perspektif makro pemulihan ekonomi Indonesia. Makalah dalam Konggres ISEI XIV, 21 April 2000.

Bank Indonesia. (2004). Laporan Perekonomian Indonesia 2004.

Bank Indonesia. (2005). Laporan Perekonomian Indonesia 2005.

Meier, G.M. (1995). Leading issues in economic development. Sixth ed. New York: Oxford University Press.

Romer, D. (1996). Advance macroeconomics. Singapore: McGraw-Hill International Editions.Economics Series.

Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 2, Nomor 1, Maret 2006, 1-10 10

Prawirosetoto Yuwono F.X. Desentralisasi fiskal di Indonesia, dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 2/2, Agustus, FE Univ. Kat. Ind. Atmajaya, Jakarta.

Soelistyo. (2003). Pengantar ekonomi makro. Jakarta: Pusat Penerbitan, Universitas Terbuka.

Susetyo, D. (2001). Reformasi kebijakan fiskal: Pengaruh defisit anggaran terhadap pertumbuhan ekonomi. Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis, Vol 3/1 Februari. Palembang BPFE: Universitas Sriwijaya.

Weiss, J. (1995). Macro stabilization: Goverment budget deficit in Economic policy in Developing Countries, The Reform Agenda, Chap 2. Prentice-Hall London.

2.

PERGERAKAN HARGA SAHAM SEKTOR PROPERTI BURSA EFEK JAKARTA

BERDASARKAN KONDISI PROFITABILITAS, SUKU BUNGA DAN BETA SAHAM

Deddy A. Suhardi (deddy_as@mail.ut.ac.id)

Universitas Terbuka

ABSTRACT

Understanding the empirical description of stock prices movement on the economical setting, firm’s perform, and the behavior of its beta is fundamental to portfolio risk management. This study evaluates the effect of three factors: firm’s profitability, interest rate, and beta, toward the stock prices movement of 32 property stocks listing at Jakarta Stock Exchange (BEJ). Path analytical model was designed with interest and return on asset (ROA) profitability as the exogenous, stock beta became an intervening variable and average rate of stock prices movement became an endogenous variable. Daily prices for the stocks, BEJ Composite Index, profitability, and interest rate were obtained from BEJ and Bank Indonesia tapes for January 2000 to December 2004 period. This analysis indicated that the stock prices movement was the most dominant influenced by beta followed by interest rate (negative) and firm’s profitability. This study also found that beta would become an effective intervening variable for transmitting both ROA and interest effect toward the stock prices movements, and hence the role of beta could be adopted as investor strategy. Structurally, the average rate of stocks prices movement would be up about: 0.37 standard units if beta was force up about one standard unit (of increasing on ROA or decreasing on interest or both together), 0.24 standard units if interest rate was lead to set down about one standard unit of ceteris paribus, and 0.19 standard units if ROA was grow about one standard unit of ceteris paribus. Furthermore, the stock prices movement of BEJ property stocks by forcing of the investor strategy was higher than leading the economical setting which it was higher than its firm’s fundamental perform growing.

Key words: beta, interest rate, path analytical model, profitability, stock prices movement.

Perusahaan-perusahaan sektor properti yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sepanjang periode 2000-2004 terdiri atas 32 perusahaan dengan total aset pada akhir tahun 2004 mencapai Rp 43.4 trilyun. Sebagian besar perusahaan tersebut harga sahamnya turun sepanjang tahun dengan laju penurunan rata-rata Rp 0.54 per hari transaksi. Pola pergerakan harga saham secara umum menurun selama tiga tahun kemudian menaik pada dua tahun.

Sementara itu nilai beta saham rata-rata sangat rendah selama dua tahun, lalu naik pada tiga tahun berikutnya. Pada dua tahun awal periode, tingkat keuntungan atau resiko saham-saham ini sama sekali tidak mengikuti tingkat keuntungan atau resiko BEJ, keadaan sebaliknya baru terjadi pada tiga tahun berikutnya. Nampaknya perubahan beta saham setahun lebih cepat dari perubahan pergerakan harga saham.

Dari segi fundamental keuangan perusahaan, rata-rata profitabilitasnya menunjukkan bahwa umumnya perusahaan properti menderita kerugian pada dua tahun awal periode kemudian baru mencatat keuntungan tiga tahun berikutnya. Nampaknya pergerakan beta saham sejalan dengan pergerakan profitabilitas. Perubahan keduanya setahun lebih cepat dibandingkan pergerakan harga saham.

Kondisi perekonomian nasional periode 2000-2004 ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 4%, inflasi 8%, kurs pada Rp 9000/USD, dan tingkat suku bunga pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 12% (lihat profil pada Gambar 1). Profil setiap indikator makro ekonomi nasional menunjukkan bahwa pergerakan tingkat bunga seiring dengan pergerakan indikator lainnya kecuali indikator pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu perubahan kondisi tingkat bunga dapat dianggap mewakili perubahan kondisi dari perekonomian makro secara umum. Pergerakan tingkat bunga menaik di atas 14% selama tiga tahun, dan turun pada dua tahun berikutnya di bawah 10%.

Nampaknya pergerakan harga saham sejalan dengan profil pergerakan tingkat bunga dengan arah yang berkebalikan, dan searah dengan perubahan beta saham maupun profitabilitas perusahaan. Persoalannya adalah apakah laju pergerakan harga saham dipengaruhi suku bunga, profitabilitas, dan beta saham? atau oleh kondisi alamiah pasar itu sendiri?

Penelitian ini mengevaluasi dampak perubahan kondisi makro ekonomi dan fundamental terhadap pergerakan harga saham. Faktor makro ekonomi dan fundamental masing-masing diproksikan oleh tingkat bunga, profitabilitas (setelah pajak), dan beta saham. Faktor-faktor ini sangat penting dalam manajemen portofolio investasi. Setara dengan persoalan tadi, tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana laju pergerakan harga saham untuk berbagai kondisi profitabilitas, 90 suku bunga, dan beta saham, serta bagaimana struktur pengaruh ketiga faktor tersebut, pada kasus perusahaan-perusahaan sektor properti yang terdaftar di BEJ.

Hubungan faktor-faktor kondisi makro ekonomi dan kondisi fundamental dengan harga saham maupun proksi-proksinya cukup banyak dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya. Claude, Campbell, dan Tadas (1996) mendapatkan bahwa pergerakan harga saham dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, dan keuangan negara. Natarsyah (2000) memperoleh bahwa ROA mempengaruhi positif harga saham. Hardiningsih, Suryanto, dan Chariri (2002) memperoleh bahwa return harga saham dipengaruhi ROA, price to book value, inflasi dan kurs.

Beberapa peneliti berfokus terhadap beta saham dan hubungannya dengan faktor-faktor lain. Meyers (1973) mendapatkan bahwa beta berhubungan dengan leverage, keragaman keuntungan, pertumbuhan keuntungan, dan kovariansi keuntungan dengan makro ekonomi. Turnbull (1977) dan Chen (1985) memperoleh bahwa beta juga dipengaruhi oleh faktor-faktor makro ekonomi.

Harga saham (market price) merupakan nilai pasar (market value) dari setiap lembar saham perusahaan. Pergerakan harga saham ditentukan oleh dinamika penawaran (supply) dan permintaan (demand). Pada suatu periode tertentu, penawaran suatu saham adalah tetap sehingga kurvanya vertikal pada angka tertentu. Permintaan pasar merupakan permintaan agregat dari seluruh investor, sehingga kurvanya relatif horizontal. Keseimbangan harga terjadi saat kurva penawaran dan permintaan agregat berpotongan pada suatu titik. Karena kurva penawaran pada suatu periode tertentu bersifat tetap maka pergerakan harga saham diakibatkan oleh pergerakan (pergeseran) kurva permintaan (agregat). Apabila kurva permintaan naik, maka keseimbangan baru terjadi pada harga yang lebih tinggi (harga naik), dan apabila permintaan turun, maka harga turun. Jadi perilaku harga suatu saham merupakan cermin permintaan agregat dari para investor.

Oleh karena pergerakan harga saham disebabkan oleh pergerakan kurva demand, maka faktor-faktor penggerak demand menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga saham. Berdasarkan hipotesis pasar berlaku efisien (eficient market hypothesis), semua informasi yang relevan berpengaruh terhadap harga saham, termasuk diantaranya adalah kinerja fundamental, kinerja saham selama ini, dan kondisi makro ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya (Bodie, Kane, & Marcus, 2002). Dengan demikian, ketiga faktor (profitabilitas, suku bunga, dan beta saham) juga merupakan faktor-faktor penggerak demand saham yang akan berpengaruh terhadap pergerakan harga saham.

Keadaan fundamental keuangan perusahaan sangat penting dianalisis untuk mngetahui sejauh mana kinerja dan pertumbuhan perusahaan. Biasanya analisis ini menggunakan rasio-rasio keuangan dari laporan keuangan yang terbit dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu (standar akuntansi). Rasio-rasio keuangan terbagi atas: rasio liquiditas, rasio aktivitas, rasio leverage, rasio profitabilitas, dan rasio capital value (Ross, Westerfield, & Jaffe, 2002). Rasio profitabilitas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aset yang dimilikinya. ROA (return on asset) adalah rasio profitabilitas yang sangat penting. ROA didefinisikan sebagai rasio antara laba bersih setelah pajak terhadap total aset.

Analisis terhadap profitabilitas merupakan bagian dari upaya memperoleh gambaran prospek laba dan deviden perusahaan untuk menentukan atau mempertimbangkan intrinsic value saham tersebut. Tingginya profitabilitas memberi indikasi ekspektasi arus kas dari pendapatan deviden maupun pertumbuhan perusahaan di masa depan sehingga intrinsic value saham cenderung lebih besar (undervalued) dari harga sekarang. Keadaan ini menarik bagi investor untuk membelinya, maka preferensi harga saham akan naik (Bodie, Kane, & Marcus, 2002). Jadi, hubungan profitabilitas dengan harga saham bersifat positif.

Informasi kondisi makro ekonomi diperlukan investor untuk melakukan investasi. Kondisi makro ekonomi secara keseluruhan akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat, pengusaha dan investor. Kondisi makro ekonomi yang baik akan menciptakan iklim investasi yang baik. Beberapa variabel kondisi ekonomi nasional yang biasanya digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar. Tingkat suku bunga adalah indikator ekonomi yang berperan menghubungkan sektor moneter dengan sektor riil, karenanya pengendalian suku bunga merupakan alat kebijakan moneter dan iklim investasi. Tingkat suku bunga merupakan ukuran keuntungan investasi yang dapat diperoleh oleh investor dari aset tanpa resiko (risk-free rate), atau juga merupakan ukuran biaya modal yang harus dikeluarkan oleh perusahan untuk menggunakan dana dari investor.

Hubungan antara tingkat bunga dengan harga saham adalah negatif (Bodie, Kane, & Marcus, 2002). Apabila terjadi kenaikan tingkat suku bunga, maka pergerakan harga saham akan menurun, sebaliknya apabila terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka harga saham akan naik. Semakin tinggi tingkat bunga perbankan, akan menyebabkan investor mengalihkan investasinya pada investasi di perbankan, obligasi atau aset-aset keuangan berpendapatan tetap. Karena investor mengurangi portofolio saham dengan melepas saham, maka suplai saham di bursa saham meningkat dan selanjutnya akan menyebabkan penurunan harga saham tersebut.

Suatu saham mempunyai rata-rata tingkat keuntungan dan resiko tertentu. Pasar, tempat saham tersebut diperdagangkan, juga mempunyai rata-rata tingkat keuntungan dan resiko. Rasio antara tingkat keuntungan suatu saham dengan tingkat keuntungan pasar sama dengan rasio antara resiko saham tersebut dengan resiko pasar. Rasio ini disebut beta saham (β), yaitu resiko relatif suatu saham terhadap resiko pasar, atau, tingkat keuntungan relatif suatu saham dengan keuntungan pasar. Beta suatu saham i didefinisikan sebagai 2(,)iMiMCovkkβσ= [1] dimana ki, kM, Cov(ki, kM), dan σM, masing-masing adalah tingkat keuntungan saham i, tingkat keuntungan pasar, kovariansi tingkat keuntungan saham i dengan keuntungan pasar, dan resiko pasar (Ross, Westerfield, & Jaffe, 2002).

Beta saham diinterpretasikan sebagai : (i) ukuran tingkat respon pergerakan keuntungan suatu saham berdasarkan pergerakan keuntungan pasar, atau (ii) ukuran tingkat resiko sistematik suatu saham terhadap resiko sistematik pasar. Resiko pasar adalah resiko sistematik, karenanya beta disebut juga resiko sistematik suatu saham.

Estimasi nilai beta saham dilakukan secara empirik dengan mengamati pertumbuhan indeks harga saham sehubungan dengan pertumbuhan indeks harga saham gabungan (IHSG). Nilai koefisien perubahan hubungan tersebut adalah beta saham. Model yang disusun dalam hubungan ini disebut index model (disebut juga market model) adalah iMiiiRRεβα++= [2] dimana Ri, adalah indeks pertumbuhan harga suatu saham, RM adalah indeks pertumbuhan IHSG, αi adalah komponen intersep, dan εi adalah komponen acak yang disebut firm-specific risk atau unsystematic risk suatu saham. Komponen εi diasumsikan tidak berkorelasi dengan ε saham lainnya. Dengan metode regresi βi dapat diestimasi (Bodie, Kane, & Marcus, 2002; Ross, Westerfield, & Jaffe, 2002).

Investor akan menggunakan informasi beta saham diantaranya untuk menentukan tingkat keuntungan dan resiko saham, tingkat keuntungan dan resiko portofolio, serta untuk menentukan beta portofolio itu sendiri. Apabila seorang investor membentuk suatu portofolio investasi berupa kombinasi pemilikan saham-saham maka beta portofolio (βP) sama dengan rata-rata terbobot dari masing-masing beta saham, yaitu Σ==niiiPw1ββ [3] dimana wi adalah proporsi jumlah pemilikan suatu saham i dari n saham.

Jika portofolio terdiri atas banyak macam aset (n besar), maka komponen resiko setiap individu saham akan didiversifikasi dalam resiko portofolio. Semakin banyak macam aset (saham) maka resiko portofolio akan semakin lebih kecil daripada rata-rata resiko individu saham, sementara tingkat keuntungan portofolio sama dengan rata-rata keuntungan setiap individu saham. Jadi, besarnya tingkat keuntungan dan resiko portofolio tergantung dari kombinasi saham dengan nilai-nilai betanya yang membentuk portofolio tersebut (Bodie, Kane, & Marcus, 2002).

Investor dalam membentuk portofolio aset-aset investasinya akan mempertimbangkan resiko dan tingkat keuntungan agar portofolionya optimal (asumsi bahwa semua investor adalah rasional). Implikasinya adalah investor akan membentuk portofolio yang memiliki karakteristik sama dengan karakteristik portofolio pasar. Misalnya proporsi aset-aset dalam portofolio yang akan dibentuk investor meniru proporsi aset-aset dalam portofolio pasar. Implikasi lainnya investor akan membentuk portofolio yang memiliki beta mendekati atau sama dengan satu (karena beta portofolio pasar sama dengan satu). Investasi pada portolio sejumlah saham dengan beta terbobot sama dengan satu akan mempunyai efisiensi diversifikasi dari pada berinvestasi hanya pada satu saham yang memiliki beta sama dengan satu. Penentuan kombinasi, jumlah, dan pemilihan beta saham-saham yang akan membentuk portofolio akan menjadi strategi dari masing-masing investor agar portofolionya optimum.

Oleh karena beta saham adalah input untuk menghitung keuntungan dan resiko saham maupun portofolio, maka hubungan beta saham dengan pergerakan harga saham dapat ditelusuri dalam dua skenario, yaitu: (i) skenario penilaian harga wajar (fair prices) saham, dan (ii) skenario keputusan investor dalam membentuk portofolio.

Skenario pertama, investor menggunakan nilai beta saham untuk menentukan tingkat keuntungan yang diharapkan (requared return) atas suatu saham saat dalam keseimbangan, k. Sementara itu suatu saham juga mempunyai ekspektasi keuntungan (expected return) berdasarkan tingkat pendapatan deviden dan capital gain, r. Saham dengan beta tinggi akan mempunyai k yang juga tinggi, jika nilainya lebih tinggi dari r, maka saham tersebut terlalu mahal (overprices). Investor tidak menginginkan saham ini dan akan melepas atau mengurangi jumlah saham ini dari portofolionya. Akibat saham-saham dengan beta tinggi banyak dilepas ke pasar, suplai saham-saham tersebut akan naik dan harganya akan turun. Hal ini berarti, melalui pendekatan harga wajar, hubungan beta saham bersifat negatif dengan pergerakan harga saham (Bodie, Kane, & Marcus, 2002; Ross, Westerfield, & Jaffe, 2002).

Skenario kedua, keputusan investor dalam membentuk portofolio. Artinya bahwa hubungan beta saham dengan pergerakan harga saham merupakan cermin perilaku/strategi investor dalam membentuk portofolio investasinya. Jika sebagian besar investor memilih saham dengan beta tinggi untuk membentuk portofolionya, maka kecenderungannya adalah harga saham tersebut naik karena naiknya permintaan. Sebaliknya jika investor lebih banyak yang memilih saham dengan beta rendah, maka kecenderungannya adalah harga saham tersebut juga naik karena naiknya permintaan saham-saham beta rendah. Jadi, dengan skenario ini, beta saham bisa berpengaruh positif atau negatif terhadap pergerakan harga saham.

Hubungan faktor-faktor sesuai paparan dan anggapan-anggapan tersebut di atas dihipotesiskan sebagai berikut:

1. ROA, suku bunga, dan beta saham berpengaruh secara bersama-sama terhadap pergerakan harga saham.

2. ROA berpengaruh positif terhadap pergerakan harga saham.

3. Suku bunga berpengaruh negatif terhadap pergerakan harga saham.

4. Beta saham berpengaruh terhadap pergerakan harga saham.

Model hubungan kausal antar faktor dibangun sebagai model analisis jalur (path analytical model) untuk memperoleh kajian empiris pengaruh suku bunga, profitabilitas, dan beta saham terhadap pergerakan harga saham pada perusahaan-perusahaan sektor properti yang terdaftar di BEJ. Model analisis jalur dirancang dengan ROA dan suku bunga sebagai variabel eksogen, beta sebagai variabel perantara dan pergerakan harga saham sebagai variabel endogen. Parameter pengaruh (intensitas) hubungan dalam model dinyatakan dalam koefisien regresi terstandardisasi (standardized regression coefficient) yang diperoleh dari estimasi persamaan regresi berganda. Estimasi dan validasi model menggunakan bantuan program SPSS 13.5 dan LISREL 8.5.

Analisis jalur (path analysis) digunakan dalam mempelajari sistem pengaruh beberapa variabel terhadap variabel lain dalam suatu model berdasarkan kerangka teori tertentu. Definisi-definisi konsep dalam analisis jalur sebagai berikut (Pedhazur, 1982).

a. Variabel eksogen (exogenous) : adalah variabel yang mempengaruhi, disebut juga variabel independen. Variabilitas variabel ini hanya ditentukan oleh faktor-faktor di luar causal-model yang diteliti.

b. Variabel endogen (endogenus) : adalah variabel yang dipengaruhi, disebut juga variable dependen. Variabilitas variabel ini ditentukan oleh variabel eksogen dan variabel endogen lainnya dalam causal-model yang diteliti.

c. Variabel intermediate (intervening) : adalah variabel antara yang dapat berfungsi sebagai variabel endogen atau variabel eksogen.

d. Koefisien path : adalah ukuran intensitas pengaruh suatu variable eksogen terhadap variabel endogen. Koefisien path dilambangkan dengan p merupakan koefisien standardized regression. Koefisien path disebut juga pengaruh langsung (direct effect) yaitu bagian pengaruh suatu variabel eksogen terhadap variabel endogen tanpa perantaraan variabel lain.

e. Pengaruh tidak langsung (indirect effect) : adalah bagian pengaruh suatu variabel eksogen terhadap variabel endogen melalui variabel lain.

f. Pengaruh keseluruhan (total effect) : adalah jumlah pengaruh langsung dan semua pengaruh tidak langsung suatu variabel eksogen terhadap suatu variabel endogen. Total effect disebut juga sebagai koefisien pengaruh (effect coeficient).

g. Galat (error term), € : adalah komponen acak (unspecified) dari variabel endogen. Setiap komponen acak tidak berkorelasi dengan variabel endogen yang bersesuaian maupun dengan variabel-variabel dibawah endogen tersebut

Estimasi parameter model menggunakan data sekunder dari publikasi BEJ dan Bank Indonesia periode 2000-2004 yang meliputi data harian harga saham, IHSG, profitabilitas perusahaan, dan data tingkat suku bunga SBI. Data tersebut diolah menjadi data empat variabel sesuai rancangan model, yaitu data tahunan laju rata-rata pergerakan harga saham, profitabilitas ROA, dan beta saham untuk masing-masing perusahaan, dan data rata-rata tahunan tingkat suku bunga SBI. Data perusahaan dipilih bersesuaian dengan saham yang mana pergerakan harganya linear (menaik atau menurun) dalam setiap tahunnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model

Hasil studi ini terutama adalah sebuah model yang menggambarkan pengaruh faktor suku bunga, profitabilitas, dan beta saham terhadap laju rata-rata pergerakan harga saham. Hasil-hasil ini disajikan terlebih dahulu terpisah dari bagian pembahasannya, sebagai berikut.

Pengaruh Suku Bunga dan Profitabilitas terhadap Beta Saham

Adanya korelasi antara beta saham dengan ROA dan suku bunga, serta beta saham dengan pergerakan harga saham, menguatkan rancangan model dengan beta saham ditempatkan sebagai variabel intermediate. Analisis model pada Gambar 2 diawali dengan menganalisis model persamaan regresi [4], yaitu menganalisis pengaruh suku bunga dan ROA terhadap beta saham. Hubungan suku bunga dengan ROA bersifat netral (balans), pada suku bunga tinggi atau rendah, keadaan profitabilitas perusahaan sama. Hal ini berarti manajemen perusahaan telah dapat menetralisir pengaruh eksternal suku bunga. Dari segi analisis, hal ini akan lebih memudahkan karena pengaruh suku bunga terhadap beta saham dapat dianalisis dengan menganggap keadaan profitabilitas konstan; atau sebaliknya pengaruh ROA terhadap beta saham dapat dianalisis pada keadaan suku bunga konstan. Sebetulnya hal ini logis untuk dilakukan karena keadaan suku bunga maupun ROA dapat konstan pada suatu tingkat tertentu selama periode tertentu (misalnya bulanan atau kwartalan).

Koefisien regresi suku bunga maupun ROA masing-masing tidak nol (signifikan) menunjukkan keduanya berpengaruh terhadap beta saham. Koefisien regresi suku bunga negatif, menunjukkan bahwa dalam keadaan profitabilitas perusahaan yang konstan maka penurunan suku bunga akan menjadikan kenaikan keuntungan saham lebih reaktif terhadap kenaikan keuntungan pasar (beta saham tinggi). Koefisien regresi ROA positif, berarti dalam keadaan suku bunga yang konstan maka kenaikan profitabilitas perusahaan akan menjadikan kenaikan keuntungan relatif saham lebih reaktif terhadap kenaikan keuntungan pasar.

Interpretasi tersebut sebetulnya cukup masuk akal, misalnya mengenai pengaruh suku bunga, turunnya suku bunga ”memungkinkan” beralihnya investasi ke dalam saham saham. Akan tetapi pertanyaannya adalah: (i) apakah investor akan benar-benar mengalihkan investasinya ke saham? (ii) apakah kecenderungan ini akan dialami oleh sebagian besar saham-saham? dan, masih berkaitan dengan hal tersebut, (iii) apakah benar-benar perubahan keuntungan sebagian besar saham-saham lebih besar dari perubahan keuntungan pasar? Nampaknya belum tentu sebagian besar investor beralih ke saham, dan belum tentu sebagian besar saham lebih reaktif (dari pada perubahan keuntungan pasar), mungkin hanya sebagian kecil saham-saham tertentu saja.

Demikian pula tentang pengaruh ROA, naiknya tingkat laba (profitabilitas) suatu saham mungkin diapresiasi oleh pasar sebagai peluang untuk mendulang arus kas di masa datang sehingga investor tertarik untuk memiliki saham tersebut. Akan tetapi, kalau pun sebagian besar saham mengalami peningkatan laba (apalagi jika informasinya sebatas dari laporan keuangan yang diterbitkan), apakah saham-saham tersebut berpeluang sama untuk ”diserbu” investor? Nampaknya belum tentu, karena investor dihadapkan pada pilihan-pilihan terhadap saham-saham yang labanya naik tersebut. Mungkin sebagian tertentu saja yang akan lebih diprioritaskan oleh investor untuk dimiliki.

Hal-hal inilah sebetulnya yang ditunjukkan oleh rendahnya koefisien determinasi model [4] (R2=26%). Jadi, kita dihadapkan pada masalah perilaku investor dan karakteristik saham itu sendiri menurut persepsi investor yang memang sulit untuk dimodelkan. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan koefisien regresi tersebut. Dalam hal ini nilai koefisien regresi suku bunga (-0.46) dan ROA (0.23) terhadap beta saham.

Karena korelasi suku bunga dan ROA sangat kecil (dianggap tidak ada), maka pengaruh parsial keduanya dalam regresi berganda [4] akan sama dengan koefisien regresi tunggal masing-masing terhadap beta saham. Koefisien regresi standardized tunggal variabel x terhadap y tidak lain adalah koefisien korelasi antara x dan y. Jadi, dalam hal ini, koefisien regresi parsial suku bunga atau ROA dengan beta saham adalah koefisien korelasi masing-masing dengan beta saham, yang mana masing-masing korelasi ini signifikan (lihat Tabel 2). Oleh karenanya, koefisien-koefisien regresi ini (dimana setiap variabel eksogen tidak saling berkorelasi) dapat juga dijadikan sebagai petunjuk derajat keeratan atau keselarasan (searah maupun berkebalikan) antara suku bunga atau ROA dengan beta saham.

Suku bunga, dengan demikian, mempunyai kaitan yang erat terhadap beta saham secara umum dengan arah yang berkebalikan (r = -0.46). Apabila nilai r dikuadratkan, maka diperoleh R2 untuk model regresi tunggal suku bunga dengan beta saham sebesar 21%. Artinya variasi perubahan dalam suku bunga menyumbang variasi dalam perubahan beta saham, atau perubahan yang terjadi dalam suku bunga kecil atau besar berpengaruh dalam perubahan beta saham. Besar atau kecil koefisien pengaruh tidak terlalu menjadi persoalan bagi model empiris seperti ini karena koefisien bisa bernilai berapa saja tergantung dari data sepanjang tidak sama dengan nol secara statistik.

Sekarang kita akan interpretasikan koefisien regresi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Karena koefisien regresi suku bunga pada model [4] atau koefisien path SB��BT pada Gambar 2 bernilai tidak sama dengan nol (-0.46), maka dapat ditafsirkan sebagai kenaikan yang akan terjadi secara umum pada beta saham sebesar 0.46 unit standar jika suku bunga turun satu unit standar, ceteris paribus. Akan tetapi probabilitas investor berperilaku seperti yang diharapkan yang sama antara satu dengan yang lainnya atau pasar bereaksi demikian hanya dapat diprediksikan kurang lebih 21%.

Dengan jalan pikiran yang sama, koefisien regresi ROA dapat ditafsirkan. Beta saham erat kaitannya (searah) dengan realitas laba perusahaan, atau ROA perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap beta saham. Beta yang tinggi menunjukkan harapan keuntungan relatif suatu saham di atas rata-rata keuntungan sebagian besar saham lainnya (pasar), dan hal ini selaras dengan (dicerminkan oleh) kemampuan perusahaan berkompetisi memperoleh laba di atas rata-rata (corporate capabilities-based competition). Jika ROA naik satu unit standar (untuk selanjutnya digunakan istilah unit saja), ceteris paribus, maka akan terjadi kenaikan beta saham sebesar 0.23 unit. Akan tetapi prediksi ini sulit jadi kenyataan karena probabilitasnya hanya 5%. Nilai probabilitas ini diperoleh dari (0.23)2 atau yang lebih tepatnya adalah selisih antara R2 model berganda [4] dengan R2 model regresi tunggal suku bunga yaitu 26% - 21% = 5%.

Meskipun demikian, deskripsi empiris pengaruh dua faktor (suku bunga dan ROA) terhadap beta saham telah menunjukkan bahwa tingkat beta saham tidak sepenuhnya (absolut) dipengaruhi hanya oleh faktor alamiah pasar itu sendiri. Kecil atau besar, realitas kemampuan perusahaan memperoleh laba dan kondisi tingkat suku bunga secara bersama-sama akan menentukan perubahan dalam beta saham. Hasil empiris ini sesuai dengan penelitian Meyers (1973) bahwa beta berhubungan dengan pertumbuhan keuntungan dan kovariansi keuntungan dengan makro ekonomi, serta Turnbull (1977) dan Chen (1985) yang memperoleh bahwa beta dipengaruhi oleh faktor-faktor makro ekonomi. Model [4] dan analisisnya telah menunjukkan bahwa ROA dan suku bunga berpengaruh terhadap beta saham. Akan tetapi untuk mengintervensi beta saham dengan cara melakukan perubahan kondisi salah satu atau kedua faktor tersebut tidak serta merta akan memperoleh perubahan beta saham seperti yang diinginkan, karena dinamika pasar, perubahan dalam beta memerlukan proses dan waktu. Chang and Weiss (1991) mengamati karakteristik time-series beta saham yang mana diperoleh bahwa beta saham bersifat random walk untuk jangka pendek, tetapi mengikuti pola tertentu untuk periode jangka panjang. Hal ini berarti dalam jangka pendek beta saham hanya dipengaruhi oleh dinamika pasar, sedangkan dalam jangka panjang beta saham dapat dipengaruhi oleh faktor lain.

Pengaruh Faktor-faktor terhadap Pergerakan Harga Saham

Analisis pengaruh tiga faktor (suku bunga, ROA, dan beta saham) terhadap laju pergerakan harga saham dapat dilakukan dengan menganggap konstan kondisi salah satunya kecuali kondisi beta saham. Kondisi beta saham tidak dapat dianggap konstan karena dua faktor (suku bunga atau ROA) akan mempengaruhinya (sebagaimana telah dikemukakan dalam analisis model [4]). Oleh karena itu, analisis model [5] lebih mudah diawali dengan terlebih dahulu menganalisis pengaruh beta saham.

Nilai koefisien regresi beta saham secara statistik tidak sama dengan nol (0.37), berarti kenaikan beta saham akan menyebabkan kenaikan laju pergerakan harga saham naik sebesar 0.37 unit kali perubahan kenaikan dalam beta saham. Jadi pengaruh beta saham positif. Dapat diperhatikan bahwa ada perbedaan antara besar koefisien regresi beta saham (0.37) dengan besar koefisien korelasinya (0.43). Berarti, keeratan hubungan beta saham dengan laju pergerakan harga saham tidak seluruhnya merupakan pengaruh beta saham. Ada selisih bagian korelasi tersebut sebesar 0.058. Selisih ini bukan merupakan pengaruh beta saham melainkan pengaruh umum faktor-faktor lain (dalam hal ini suku bunga dan ROA) terhadap laju pergerakan harga saham melalui perantaraan beta saham. Dalam analisis path pengaruh ini disebut spurious effect. Angka selisih tadi (0.058) adalah angka total spurious effect dari suku bunga dan ROA.

Selanjutnya, analisis pengaruh suku bunga terhadap laju pergerakan harga saham dilakukan dengan menganggap ROA konstan. Jika suku bunga turun maka akan terjadi kenaikan beta saham dan kemudian naiknya beta saham akan menyebabkan kenaikan laju pergerakan harga saham. Apabila kondisi ROA konstan, perubahan beta saham dapat dikatakan hanya berasal dari perubahan suku bunga, dan dengan sendirinya perubahan laju pergerakan harga saham juga hanya berasal dari perubahan suku bunga. Jika suku bunga turun satu unit maka beta saham akan naik 0.46 unit dan selanjutnya laju pergerakan harga saham akan naik sebesar 0.37 x 0.46 = 0.17 unit, pengaruh ini terlihat relatif cukup besar. Pengaruh suku bunga terhadap laju pergerakan harga saham melalui aktivitas beta saham disebut pengaruh tidak langsung (indirect effect).

Sementara itu, perubahan suku bunga juga diharapkan langsung mempengaruhi laju pergerakan harga saham yang ditunjukkan oleh koefisien regresi parsial suku bunga pada model regresi [5]. Koefisien regresi parsial ini disebut pengaruh langsung (direct effect). Berdasarkan koefisien ini, turunnya suku bunga satu unit akan langsung menyebabkan kenaikan laju pergerakan harga saham sebesar 0.07 unit, pengaruh ini terlihat relatif kecil dibanding indirect effect.

Jadi, pada kondisi ROA konstan, turunnya suku bunga satu unit mempunyai total pengaruh terhadap laju pergerakan harga saham sebesar 0.17+0.07 = 0.24 unit. Angka ini disebut total effects atau koefisien pengaruh (effect coeficient) dan ternyata nilainya relatif sama dengan nilai koefisien korelasi suku bunga dengan laju pergerakan harga saham. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi suku bunga dengan laju pergerakan harga saham telah diuraikan dengan baik oleh model Gambar 2 menjadi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Apabila ada selisih nilai korelasi dengan total pengaruh, maka selisih tersebut merupakan bagian korelasi yang tak teranalisis oleh model. Model yang baik tentunya adalah model yang dapat mereduksi korelasi menjadi menjadi bagian-bagian pengaruh total sehingga tidak menyisakan bagian tak teranalisis. Apabila total pengaruh suku bunga sama dengan korelasinya maka total pengaruh tersebut tidak lain adalah koefisien regresi tunggal antara suku bunga terhadap laju pergerakan harga saham.

Dengan cara yang sama, analisis pengaruh ROA terhadap laju pergerakan harga saham dilakukan dengan menganggap suku bunga konstan. Jika ROA naik maka akan terjadi kenaikan beta saham dan kemudian naiknya beta saham akan menyebabkan kenaikan laju pergerakan harga saham. Karena kondisi suku bunga konstan, perubahan beta saham hanya berasal dari perubahan ROA, dan dengan sendirinya perubahan laju pergerakan harga saham juga hanya berasal dari perubahan ROA. Jika ROA naik satu unit maka beta saham akan naik 0.23 unit dan selanjutnya laju pergerakan harga saham akan naik sebesar 0.37 x 0.23 = 0.085 unit. Sementara itu, pengaruh langsung kenaikan ROA satu unit akan menyebabkan kenaikan pada laju pergerakan harga saham sebesar 0.108 unit. Pengaruh tidak langsung ROA terhadap laju pergerakan harga saham terlihat relatif tidak jauh berbeda dengan pengaruh langsungnya.

Jadi, pada kondisi suku bunga konstan, kenaikan ROA satu unit mempunyai total pengaruh terhadap laju pergerakan harga saham sebesar 0.085+0.108 = 0.19 unit, nilai ini relatif sama dengan nilai koefisien korelasi ROA dengan laju pergerakan harga saham. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi ROA dengan laju pergerakan harga saham telah diuraikan dengan baik oleh model Gambar 2 menjadi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung.

Pengaruh faktor-faktor terhadap pergerakan harga saham dapat diringkas dengan sajian dekomposisi masing-masing korelasinya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Beta saham mempunyai pengaruh terbesar terhadap pergerakan harga saham dengan pengaruh total sebesar 0.37, kemudian suku bunga (-0.24), dan kemudian ROA (0.19). ROA ternyata mempunyai pengaruh paling kecil dibanding dua faktor lainnya. Beta saham dan ROA berpengaruh positif, sedangkan suku bunga berpengaruh negatif. Arah semua hubungan ini sesuai dengan hipotesis.

Hubungan beta saham yang positif dengan pergerakan harga saham menunjukkan bahwa hubungan tersebut lebih cocok dengan skenario pendekatan keputusan investor. Pengaruh beta saham dengan pergerakan harga saham merupakan cermin keputusan/strategi investor dalam membentuk portofolionya. Dalam kasus saham sektor propeti di BEJ, sebagian besar investor lebih memilih saham dengan beta tinggi, sehingga kecenderungannya adalah harga saham dengan beta tinggi tersebut naik karena permintaan naik. Jadi, dalam batas-batas tertentu dari penelitian ini, secara empiris (kenyataan) pengaruh beta saham adalah keputusan investor.

Bagi beta saham, bagian tak-teranalisisnya merupakan komponen total pengaruh umum variabel eksogen yang melaluinya (spurious effect) karena peranannya sebagai variable perantara. Nilai total pengaruh umum dari ROA maupun suku bunga adalah 0.058 yaitu berasal dari ROA sebesar 0.23x0.11 = 0.025, dan dari suku bunga sebesar (-0.46)x(-0.07) = 0.032.

Total pengaruh umum 0.058, meskipun relatif kecil, secara empiris menunjukkan bahwa beta saham efektif berperan sebagai faktor perantara yang mentransmisikan pengaruh umum suku bunga dan ROA terhadap laju pergerakan harga saham. Hal ini menguatkan kenyataan bahwa beta saham adalah cermin perilaku investor.

Apakah interpretasi tersebut dapat diterima? Sama halnya dengan analisis model regresi [4], interpretasi tersebut juga perlu kehati-hatian dalam menerapkannya. Oleh karena model telah optimal mendekomposisi korelasi-korelasi menjadi pengaruh total (lihat Tabel 4 kolom 5), dan besar kecil pengaruh tersebut hanyalah tergantung keadaan data empiris, maka pola kecenderungan seperti itu dapat diterima sebagai pola kecenderungan struktural. Artinya bahwa interpretasi model lebih menunjukkan indikasi ke arah tersebut daripada sesuatu yang menjadi keharusan.

Jadi, perubahan laju pergerakan harga saham sulit tercapai meskipun ada upaya mengintervensinya melalui perubahan salah satu faktornya, sebab dampak perubahan tersebut memerlukan proses dan waktu yang memberi kesempatan kepada pasar untuk ”menjalankan” mekanismenya. Bodie, Kane, dan Marcus (2002) menyatakan bahwa perilaku harga saham bersifat random walk sehingga unpredictable, dan perilaku investor berbeda persepsi akibat gap informasi. Sedangkan adanya pengaruh berbagai faktor didasarkan atas versi-versi eficient market hipotesis.

Hasil penafsiran struktural tersebut di atas secara sederhana dapat dibandingkan karena koefisien pengaruh menggunakan koefisien regresi yang distandarkan. Jika perubahan tersebut ”mungkin” terjadi seperti yang diinginkan, perubahan laju pergerakan harga saham akibat penurunan suku bunga akan lebih besar 0.05 daripada perubahan laju pergerakan harga saham akibat kenaikan ROA. Perubahan laju pergerakan harga saham akibat kenaikan beta saham akan lebih besar 0.18 daripada perubahan laju pergerakan harga saham akibat kenaikan ROA. Sedangkan, perubahan laju pergerakan harga saham akibat kenaikan beta saham akan lebih besar 0.13 daripada perubahan laju pergerakan harga saham akibat penurunan suku bunga. Atau dalam bahasa prosentase, dampak perubahan beta saham 13% lebih besar daripada dampak perubahan suku bunga, dan lebih besar 18% daripada dampak perubahan ROA, sementara dampak perubahan suku bunga lebih besar 5% daripada dampak perubahan ROA.

Kembali ke persoalan semula, apakah laju pergerakan harga saham dipengaruhi kondisi faktor-faktor yang diteliti atau mekanisme alamiah pasar? Dalam model, dianggap laju pergerakan harga saham hanya dipengaruhi oleh tiga faktor yang diteliti, sedangkan faktor-faktor di luar model dianggap konstan karena faktor-faktor tersebut memang tidak diukur (termasuk faktor alamiah pasar). Oleh karena itu untuk jawaban atas pertanyaan ini akan terletak pada ketepatan model.

Ketepatan model empirik diukur dengan besarnya koefisien determinasi model (R2). Model yang tidak tepat menunjukkan R2 yang kecil, tetapi sebaliknya tidak demikian, R2 kecil belum tentu menunjukkan model tidak tepat. Nilai R2 model ini kecil (20%, lihat persamaan [5]), tetapi belum tentu menunjukkan model tidak tepat karena bagi model yang jalur-jalur hubungannya telah disusun berdasarkan teori, fokus perhatiannya terutama pada pembuktian empiris hubungan-hubungan tersebut (arahnya). Besar (magnitude) hubungan tersebut akan tergantung data yang digunakan karenanya besar koefisien tidak terlalu menjadi persoalan sepanjang tidak sama dengan nol. Jadi, tidak dapat dipastikan berapa batas nilai R2 untuk mengatakan model tepat atau tidak.

PENUTUP

Pergerakan harga saham sektor properti yang terdaftar di BEJ dipengaruhi paling dominan oleh beta saham, diikuti oleh suku bunga, dan profitabilitas. Beta saham dan profitabilitas berpengaruh positif, suku bunga berpengaruh negatif.

Dari data diperoleh koefisien pengaruh profitabilitas, suku bunga, dan beta saham, terhadap laju rata-rata pergerakan harga saham, masing-masing adalah 0.19, -0.24, dan 0.37. Pergerakan harga saham akan naik sebesar : 0.19 unit jika profitabilitas naik satu unit, ceteris paribus; 0.24 unit jika tingkat suku bunga turun satu unit, ceteris paribus; 0.37 unit jika terjadi kenaikan beta saham satu unit. Kenaikan beta saham bisa terjadi karena naiknya profitabilitas atau turunnya suku bunga, atau perubahan keduanya secara bersama-sama. Variasi pergerakan harga saham 20% ditentukan oleh variasi ketiga faktor secara bersama-sama.

Pengaruh profitabilitas dan suku bunga terhadap pergerakan harga saham tergantung masing-masing korelasinya dengan beta saham, semakin besar korelasinya dengan beta saham akan semakin besar pengaruhnya terhadap pergerakan harga saham. Dalam hal ini faktor beta saham efektif berperan sebagai faktor perantara (intervening variable), dan secara empiris beta saham tidak lain adalah cermin perilaku/strategi investor.

Perusahaan (manajemen) khususnya pada perusahaan sektor properti yang terdaftar di BEJ sejauh ini telah melakukan upaya-upaya sehingga mampu menetralisir pengaruh eksternal (sebagaimana telah ditunjukkan dalam analisis korelasi ROA dan suku bunga). Dan, oleh karenanya upaya ini patut dipertahankan. Manajemen juga telah berupaya mengejar tingkat laba (profitabilitas) di atas rata-rata, dan upaya ini sedikit besar telah mendapatkan apresiasi baik dari para investor maupun pasar. Upaya yang terakhir ini masih perlu untuk ditingkatkan, yaitu upaya meraih laba di atas rata-rata dalam persaingan berbasis kemampuan (capabities-based competition) yang ujung-ujungnya adalah peningkatan berbagai sumberdaya yang terintegratif (Grant, 1991; Stalk, Evans, & Shulman, 1992).

Kita berharap agar otoritas moneter nasional melakukan kebijakan tingkat suku bunga yang konsisten (untuk tidak mengatakan agar suku bunga jangan tinggi) karena perubahan suku bunga mempunyai dampak yang besar baik terhadap perilaku investor maupun pergerakan harga saham. Suku bunga yang tinggi (atau fluktuasinya) akan mengakibatkan sebagian besar energi perusahaan teralokasi untuk mengatasinya. Data telah menunjukkan bahwa dampak perubahan suku bunga terhadap kesehatan saham lebih besar dari pada upaya-upaya perusahaan itu sendiri.

Perilaku investor dominan dipengaruhi suku bunga dari pada profitabilitas. Artinya apresiasi investor terhadap profitabilitas masih rendah dan mereka lebih mempertimbangkan keadaan suku bunga. Disarankan agar otoritas pasar modal dan perusahaan menyajikan informasi lebih relevan dan cepat bagi para investor. Hal ini sebetulnya untuk tidak mengatakan bahwa para investor diharapkan lebih mengapresiasi profitabilitas perusahaan dari pada terlalu mempertimbangkan suku bunga yang mana sangat sulit bagi investor untuk tidak melakukannya.

Hal ini penting karena keadaan profitabilitas dengan berbagai upaya perusahaannya, keadaan suku bunga dengan berbagai kebijakan ekonomi-moneternya, serta investor dengan berbagai strateginya, memberi dampak sekurang-kurangnya terhadap kesehatan saham (perusahaan). Tidak menutup kemungkinan agar berbagai upaya/kebijakan/strategi, sesuai peranannya masing-masing, sama-sama mengarah kepada terciptanya perusahaan-perusahaan nasional yang kuat dan besar.

REFERENSI

Bank Indonesia. (2006). Kondisi perekonomian nasional tahun 2000-2004. Diambil 6 Juni 2007, dari http://www.bi.go.id. Bank Indonesia.

Bodie, Z., Kane, A., & Marcus, A.J. (2002). Investment. New York: McGraw-Hill.

Bursa Efek Jakarta. (2006). Statistik perusahaan ROA perusahan sektor properti tahun 2000-2004. Diambil 14 Juni 2007, dari http://www.jsx.co.id/jsx.statistic. Jakarta Stock Exchange.

Claude, B.E., Campbell, R.H., & Tadas, E.V. (1996). Political risk, economic risk, and financial risk. Financial Analyst Journal, 52 (6), 29-46.

Chang, W., & Weiss, D.E. (1991). An examination of the time series properties of beta in the market model. Jounal of the American Statistical Association, 86 (416), 883-890.

Chen, C.R. (1985). Time-series analysis of beta stationary and its determinan: A case of public utilities. Financial Management, 11 (3), 64-70.

Grant, R.M. (1991). The resouces-based theory of competitive advantage: Implications for strategy formulation. California Management Review, 33 (3), 114-135.

Hardiningsih, P., Suryanto, L., & Chariri, A. (2002). Pengaruh faktor fundamental dan risiko ekonomi terhadap return saham pada perusahaan di Bursa Efek Jakarta: Studi kasus basic industry & chemical. Jurnal Bisnis Strategi, 8 (Desember 2001), 83-98.

Meyers, S.L. (1973). The stationarity problem in the use of market model security price behavior. The Accounting Review, 48 (2), 318-322.

Natarsyah, S. (2000). Analisis pengaruh beberapa faktor fundamental dan resiko sistematik terhadap harga saham: Kasus industri barang konsumsi yang go-public di pasar modal Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 15 (3), 294-312.

102

Suhardi, Pergerakan Harga Saham Sektor Properti Bursa Efek Jakarta

Pedhazur, E.J. (1982). Multiple regression in behavioral research: Explanation and prediction (2nd ed). New York: CBS College Publishing. Holt, Rinehart, and Winston.

Ross, S.A., Westerfield, R.W., & Jaffe, J. (2002). Corporate Finance (6th ed). New York: McGraw-Hill.

Stalk, G., Evans, P., Shulman, L.E. (1992). Competing on capabilities: The rules of corporate strategy. Harvard Bussiness Review, 3 (March 1992), 57-69.

Turnbull, S.M. (1977). Market value and systematic risk. Journal of Finance, 32 (2), 1125-1142.

103

ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK

Ali Muktiyanto (ali@mail.ut.ac.id)

Hendrian (ian@mail.ut.ac.id)

Universitas Terbuka

ABSTRACT

UU 38/1999 about Pengelolaan Zakat and UU 17/2000 about Pajak Penghasilan, recognized

zakah as income tax deductible. However, as zakah was regarded as expenses, so the impact is relatively less to income tax and ineffectiveness to improve income from tax and zakah. Based on 2004 survey of public behavior in zakah by PIRAC, it was shown that majority (50.2%) of respondent ignored zakah and in the similar survey in 2007, the number decreased to 45%. Hafidhudin (2006) stated that zakah was just income tax deductible, not tax deductible. This aim of the study is describing zakah implementation as income tax deductible and its accounting technique. The population of this study were government employees, private employees and companies that by purposive random sampling method in 8 (eight) sub district of district Pamulang that paid tax income. Data was analyzed by descriptive and verificative method. The research shown that zakah payer (muzaqqi) were also tax payer (88,68%); more than 52% of people did not realized that zakah can be income deductibles. Zakah payment was usually not conducted by legal amil zakah institution because of distrust and religious consideration. According to accounting technique, people implemented zakah as tax deductibles, rather than income deductible, as it was an inappropriate technique. This research also found that people prefered zakah as tax deductible rather than cost or expense deductible.

Keywords: expenses, tax, zakah

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, sebab 78% dari dana APBN berasal dari pajak. Oleh karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara, maka pemerintah berupaya terus menerus meningkatkan perolehan pajak. Namun demikian walaupun terjadi peningkatan dalam penerimaan pajak, tax ratio Indonesia yang 13,6% dari PDB masih di bawah rata-rata tax ratio negara-negara Eropa dan Amerika yang mencapai 33%. Majalah Berita Pajak edisi April 2003 menyebutkan baru 2,3 juta penduduk dari 210 juta potensi yang terdaftar sebagai obyek pajak. Artinya sumber pajak di Indonesia cukup besar untuk digali (Hamidiyah, 2007). Sumber pajak yang jumlahnya besar ini berada di tangan penduduk muslim. Sebagaimana diketahui penduduk muslim di Indonesia berjumlah sekitar 87% dari total penduduk. Walaupun penduduk muslim 87% dari penduduk Indonesia, tetapi dalam pemasukan pajak tidak berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penduduk muslim yang ada. Hal ini mungkin saja disebabkan penduduk muslim enggan membayar pajak, karena telah ada kewajiban pajak dalam agama Islam yang biasa disebut zakat.

Di Indonesia, seorang muzakki (wajib zakat) adalah juga wajib pajak. Jika diminta memprioritaskan, tentu saja umat Islam lebih rela membayar zakat dari pada pajak, karena lebih bersifat profan dan didorong oleh motivasi beragama dan kesadaran atas imannya (Hafidhuddin, 2006). Survey PIRAC (Publik Interest Research and Advocacy Center) tahun 2004 terhadap responden yang beragama Islam di 11 kota besar di Indonesia yang meliputi Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, Denpasar, Manado, Makassar, Pontianak dan Balikpapan, menunjukkan potensi zakat per tahun mencapai Rp4,45 triliun, dan diperkirakan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp9,09 triliun. Survey juga menunjukkan 94,5% responden menyatakan dirinya sebagai muzakki dengan rata-rata nilai zakat sebesar Rp416.000,00/muzakki/tahun dan tahun 2007 meningkat menjadi 95,5% dengan rata-rata nilai zakat sebesar Rp684.550,00/muzakki/tahun. Peningkatan tersebut tidak selalu linier dengan kesadaran membayar zakat dari golongan yang secara ekonomi lebih mapan. Hasil survei tentang perilaku membayar zakat terhadap responden yang secara ekonomi lebih mapan justru cenderung mengabaikan kewajiban berzakat. Hanya 49,8% yang sadar zakat dan sedikit mengalami peningkatan menjadi 55% ketika disurvey kembali pada tahun 2007. Memang, ketika besar zakat masih recehan, orang tidak keberatan mengeluarkannya, tapi ketika zakat sudah mencapai jutaan, orang mulai berpikir untuk menzakatkannya. Oleh karena itu adanya klausul zakat mengurangi pajak menjadi begitu penting. Hamidiyah (2007) menyebutkan, Islam mengakui, pajak merupakan kewajiban setiap warga negara. Sebagai warga negara, seorang muslim wajib taat kepada pemerintah (ulil amri).

Masalahnya, apakah pajak yang diterapkan sekarang telah sesuai dengan ketentuan pajak secara syariah. Dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil, sehingga belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat. Hafidhudin (2006) menambahkan, saat ini zakat baru ditetapkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP) dan bukan sebagai pengurang langsung atas pajak.

Hal lainnya yang juga diulas adalah kaitan aspek pengakuntansian zakat sebagai pengurang pajak. Diharapkan artikel ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan terutama terhadap perpajakan dan implementasinya serta hubungannya dengan kewajiban zakat bagi umat muslim.

Populasi penelitian ini adalah perorangan yang terdiri atas pegawai negeri, pegawai

swasta serta perusahaan atau badan usaha yang berpotensi membayar pajak penghasilan pribadi maupun badan. Pengambilan sampel dilakukan pada 8 Kelurahan di Kecamatan Pamulang. Pengambilan sampel menggunakan teknik Purposive Random Sampling. Penelitian merupakan penelitian deskriptif. Objek yang akan diteliti terdiri dari penerapan zakat sebagai pengurang pajak dan pengakuntansian zakat sebagai pengurang pajak. Penerapan zakat sebagai pengurang pajak digali melalui pernyataan-pernyataan pokok diantaranya adalah yang berkaitan dengan:

a. Demografi responden

b. Pengetahuan masyarakat atas esensi UU 38/1999 dan UU 17/2000 bahwa zakat dapat mengurangi pajak

c. Sikap masyarakat dalam menerapkan zakat sebagai pengurang pajak, yang dibuktikan dalam pengisian SPT tahunan

d. Cara masyarakat mengurangkan zakat atas pajak, sebagai beban pengurang laba operasi ataukah mengurangkan ke pajak yang harusnya dibayarkan ke negara

e. Ketepatan pengutipan pajak, pendistribusian pajak, pengetahuan kantor pajak atas wajib pajak yang menunggak pajak.

f. Cara masyarakat membayar zakat, membayar pajak juga membayar zakat

g. Lembaga tempat membayar pajak

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner. Pengolahan dilakukan secara diskriptif verifikatif untuk menghasilkan analisa yang komprehensif.

Zakat Pengurang Laba sebelum Pajak (Tax Expenses) Bukan Pengurang Pajak Penghasulan

(Tax Deductable)

Ketentuan UU No. 17/2000, menetapkan pembayaran zakat masuk ke dalam biaya bagi

pajak penghasilan pribadi maupun perusahaan bukan sebagai pengurang pajak secara langsung (tax deductable). Akhir-akhir ini berkembang wacana untuk menjadikan zakat sebagai tax deductable.

Muzakki umumnya langsung membayar zakat ke lembaga zakat dan di lain pihak juga tetap membayar pajaknya secara penuh kepada negara. Umat Islam Indonesia menunggu keseriusan pemerintah dalam penerapan zakat sebagai tax deductable seperti di Malaysia. Wacana ini disambut gembira oleh para pengusaha. Melalui undang-undang tersebut para pengusaha tidak terkena kewajiban ganda, zakat dan pajak. Insentif pajak bagi donasi juga telah berlaku di beberapa Negara Eropa dan Amerika, bahkan juga di Malaysia. Ada kekhawatiran bahwa jika zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Data di Malaysia menunjukkan bahwa selama tahun 2001- 2005 dengan adanya undang-undang zakat mengurangi pajak, perolehan zakat di negara tersebut terus meningkat. Tahun 2005 perolehan zakat dari 12,5 juta penduduk yang muslim mencapai RM 573 juta atau Rp1,4 trilyun (Hafidhuddin, 2006).

Selama ini di kalangan umat Islam beredar anggapan yang salah, bahwa membayar zakat dapat langsung mengurangi pajak yang akan dibayarkan. Sebenarnya yang benar adalah seperti dimaktubkan dalam UU No. 38/1999 bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) resmi akan dikurangkan terhadap laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan. Di dalam UU No. 17/2000 juga ditetapkan bahwa zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan secara resmi oleh wajib pajak Orang Pribadi pemeluk Islam atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki kaum muslimin, dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Dengan kata lain, sebagaimana yang diatur dalam keputusan Dirjen Pajak No KEP−542/PJ/2001 bahwa zakat atas penghasilan dapat dikurangkan atas penghasilan netto. Jika penghasilan bruto seorang wajib pajak adalah Rp5.000.000,00 sedangkan wajib pajak tersebut telah menunaikan zakat sebesar Rp1.000.000,00 maka pajak yang harus dibayarkan adalah Rp4.000.000,00 (Rp5.000.000,00 – Rp1.000.000,00) dikalikan tarif progresifnya sebesar 5% yaitu Rp200.000,00. Jadi, bukan bebas pajak.

Perbedaan Zakat dan Pajak

Antara zakat dan pajak terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan tersebut

adalah Pertama, dari aspek kewajiban. Zakat hanya diwajibkan bagi umat Islam, sedangkan umat yang beragama lain tidak terkena kewajiban zakat. Sedangkan pajak, wajib bagi setiap warga negara, baik yang beragama Islam maupun lainnya. Kedua, dari aspek subyeknya. Subyek zakat adalah orang kaya. Hal ini dibuktikan bahwa yang harus membayar zakat adalah orang yang hartanya telah mencapai nishab. Sedangkan pajak nampaknya tidak pandang bulu, semua warga negara baik kaya maupun miskin harus bayar pajak.

Terutama pajak konsumsi, yaitu PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Setiap orang yang membeli suatu barang, secara otomatis sebenarnya dia telah membayar pajak, karena harga yang dibayarnya itu sudah termasuk PPN. Ketiga, dari aspek peruntukan. Secara tegas, Al-Qur’an menyatakan bahwa zakat hanya diperuntukkan bagi depatan golongan mustahik, yaitu fakir, miskin, amil zakat, muallaf, riqob, gharimin, ibnu sabil, dan fi sabilillah (QS. At-Taubah: 60). Adapun peruntukan pajak adalah sangat tergantung situasi dan kondisi negara pada saat itu. Suatu saat digunakan untuk membangun infrastruktur, lain waktu untuk program pendidikan, atau untuk membayar pokok dan bunga pinjaman. Keempat, dari aspek pemanfaatan. Menurut agama Islam, zakat harus disalurkan secara langsung kepada yang berhak (yaitu delapan asnaf mustahik), tidak boleh ditahan-tahan terlalu lama.

Sedangkan pajak, secara konsep dan praktek, pemanfaatannya adalah secara tidak langsung. Jadi pembayar pajak tidak bisa menuntut pemerintah untuk segera menggunakannya untuk kepentingan rakyat, tetapi tergantung pada mekanisme yang ada di pemerintahan (pemerintah dan DPR). Kelima, dari aspek tarif. Agama Islam sudah mengatur secara rinci tentang tarif zakat, dan hal tersebut sudah baku, tidak bisa diubah-ubah. Sedangkan tarif pajak bisa diubah disesuaikan dengan kondisi. Contoh, saat ini tarif pajak penghasilan adalah progresif, bukan tidak mungkin suatu saat akan diubah menjadi tarif yang bersifat flat.

Zakat dalam UU Perpajakan

Undang Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan telah mencoba mengakomodir zakat pada Pasal 9 ayat (1) point g:

“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) tidak boleh dikurangkan harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi muslim dan atau badan milik muslim lepada BAZ dan LAZ yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa zakat yang diakui oleh UU Perpajakan hanya zakat atas penghasilan. Zakat atas penghasilan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Menurut Agama Islam, jenis zakat bukan hanya zakat atas penghasilan, tetapi juga zakat atas harta benda lainnya. Implikasi lainnya adalah dalam perhitungan zakat perusahaan. Menurut ketentuan syari’at Islam, zakat perusahaan dihitung dari Laporan Neraca, bukan dari Laporan Laba Rugi. Harapannya adalah semua jenis zakat dapat dikurangkan dari pajak. Akan tetapi, dalam pasal 9 ayat (1) poin g UU No. 17 tahun 2000 tersebut, zakat diposisikan mirip seperti biaya. Harapan para muzakki adalah zakat dapat diposisikan sebagai pengurang pajak (tax deductable), sehingga prinsip tidak ada pembayaran ganda, dapat menjadi kenyataan.

Jika kedua hal di atas diyakini akan banyak kebaikan yang muncul, antara lain:

a. Akan terjadi peningkatan tax ratio, yaitu jumlah pembayar pajak akan makin banyak. Para wajib pajak muslim akan makin bersemangat membayar zakat maupun pajak, disebabkan sudah tidak ada lagi pembayaran ganda.

b. Masyarakat miskin akan makin terbantu. Dengan makin banyaknya dana zakat yang disalurkan melalui lembaga, baik BAZ maupun LAZ, maka program-program pemberdayaan masyarakat akan makin banyak bisa digulirkan. Tentunya hal ini juga sangat membantu program pemerintah, terutama dalam pengentasan kemiskinan.

c. Akan terjadi tuntutan kepada lembaga pengelola zakat, baik BAZ maupun LAZ, untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance, yaitu amanah, profesionalitas, dan transparan.

d. Penerapan zakat pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat tersebut sebagai biaya pengurang penghasilan. Pengaruhnya tentu tidak besar bagi para pembayar pajak yang juga merupakan para pembayar zakat karena tidak dikreditkan langsung pada pajak terutang. Akan tetapi tentu akan lebih terasa besarnya pengaruh zakat terhadap pajak jika zakat tersebut dapatdikreditkan langsung ke pajak penghasilan. Logika penggunaannya tentu sama saja. Pajak digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan karyawan begitu juga zakat yang memiliki implikasi kesejahteraan dunia dan akhirat.

Hanya sayangnya, perlu disadari bahwa sesungguhnya antara UU no 17/2000 dan UU No38/1999 tidaklah konsisten. Sebab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam UU No 17/2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan (zakat profesi). Padahal pada saat yang sama di dalam UU No 38/1999 disebutkan bahwa zakat (tanpa ada embel-embel atas penghasilan) dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Sementara sangat jelas bahwa yang dimaksud zakat di dalam UU No 38/1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama, yang terdiri atas; emas, perak, dan uang ; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian; hasil perkebunan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; serta rikaz. Inkonsistensi yang demikian bisa dimungkinkan oleh dua hal. Pertama, karena kesalahpahaman atau ketidakmengertian anggota legislatif terhadap pengertian zakat. Kedua, karena perbedaan pendapat maupun alasan politik tentang seberapa jauh zakat “berhak “ masuk dalam wilayah fiskal kenegaraan.

Adanya UU 38/1999 dan UU 17/2000 diharapkan mendorong wajib pajak dan muzakki dapat menunaikan kewajiban pembayaran pajak dan zakatnya dengan baik. Pemerintah berharap dengan adanya kedua UU tersebut setoran pajak sekaligus setoran zakat meningkat. Kerangka pemikiran tersebut mencoba menggambarkan sekaligus menganalisa impelementasi dari kedua UU tersebut dilihat dari sikap masyarakat wajib pajak dan muzakki. Sejauh ini perubahan yang signifikan belum nampak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Akhir-akhir ini, berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan merevisi UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan terutama yang berkenaan dengan zakat sebagai pengurang pajak. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak. Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar.

Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Di Malaysia, zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak. Dengan insentif itu, para muzakki akan berlomba-lomba membayarkan zakatnya kepada lembaga amil zakat. (Hamidyah, 2007)

Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan, bila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Di satu sisi, jumlah zakat yang terhimpun akan meningkat, sementara di sisi lain jumlah pajak yang terhimpun akan berkurang. Padahal, sekitar 78% sumber dana APBN kita bersumber dari pajak. Jika jumlah pajak berkurang, maka hal tersebut akan memberikan efek negative terhadap kondisi perekonomian. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak, khususnya PPh Pasal 21, karena perbedaan tarif pajak yang 30% dengan tarif zakat yang relatif sangat rendah yaitu 2,5% dari penghasilan. Selain itu, berdasarkan perhitungan perkiraan setoran penerimaan pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21) nasional sebesar Rp25 triliun (dari perkiraan total penghasilan karyawan nasional sebesar Rp125 triliun - tarif efektif 20%) maka perkiraan setoran zakat (2,5% dari Rp125 triliun) hanya Rp3,2 triliun.

Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Hafidhuddin dalam Harian Seputar Indonesia, tertanggal 8 Oktober 2007, menunjukkan data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terbukti bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi yang positif. Sebagai contoh, pada tahun 2001 pendapatan zakat adalah sebesar 321 juta ringgit dan pendapatan pajak berkisar pada angka 79,57 miliar ringgit. Tahun berikutnya, pendapatan zakat naik menjadi 374 juta ringgit.

Demikian pula dengan pendapatan pajak yang naik menjadi 83,52 miliar ringgit. Pada tahun 2005, pendapatan zakat telah mencapai angka 573 juta ringgit, sedangkan pajak 106,3 miliar ringgit.

Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat. Sumargono (2006) menambahkan di sisi lain memang terdapat sejumlah faktor yang mendalangi kecenderungan pengabaian zakat. Salah satunya, persepsi yang salah di kalangan pengusaha dan kaum profesional tentang zakat. Zakat, dalam kalkulasi bisnis mereka, barangkali dipahami sebagai “kerugian”. Oleh karena itu, zakat harus diminimalkan sebagaimana pajak, kalau perlu dengan segala cara. Termasuk penggelapan pajak, yang merupakan kejahatan klasik.

Sedangkan pengingkaran zakat, kini tak lagi sampai diperangi seperti pada zaman Khalifah Abu Bakar. UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat malah sama sekali tak memberi sanksi bagi muzakki yang mengabaikan zakat. Padahal, kewajiban zakat sejatinya bersifat market-friendly dan tidak mengganggu iklim usaha. Misalnya, memberi dispensasi bagi usaha yang memiliki biaya produksi lebih tinggi. Sebagai contoh, zakat produk pertanian yang dihasilkan lahan irigasi kadarnya 5% atau separuh dari kadar pertanian tadah hujan.

UU Zakat pun sebenarnya cukup ramah terhadap wajib pajak. Dalam pasal 14 ayat 3

disebutkan: "Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat

dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku." Hal itu diperjelas dalam SK Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji

No. D/291/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat pasal 16 ayat 2: ''Zakat atau penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat

dan Lembaga Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak dari pajak penghasilan wajip pajak yang bersangkutan dengan menggunakan bukti setoran yang sah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 14 ayat 3 UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.'' Bagi muzakki, white collar, secara material memang ada kerugian akibat pengeluaran zakat, yaitu berkurangnya pendapatan siap belanja. Namun, besar pengeluaran zakat yang sekadar 2,5% itu tidaklah signifikan dibanding jumlah penghasilan. Seorang eksekutif bergaji Rp500 juta/bulan misalnya, hanya wajib berzakat Rp12,5 juta/bulan. Selain itu, dia pun memperoleh penghematan sebagai hasil pengurangan zakat atas penghasilan kena pajak.

Berlandaskan berbagai pemikiran dan fakta di atas artikel ini mencoba menguji kembali dengan menyebarkan lebih dari 100 exemplar kuesioner kepada responden di wilayah Pamulang- Tangerang. Dari kuesioner yang telah disebar tersebut hanya 53 responden yang mengembalikannya dengan komposisi laki-laki sebanyak 34 orang atau 64,15% dan jumlah perempuan sebanyak 19 orang atau 35,85%. Sebagian besar berumur di atas 40 tahun yaitu sebanyak 28 orang atau 52,83%, disusul antara 30-40 tahun sebanyak 16 orang atau 30,19% dan di bawah 30 tahun sebanyak 9 orang atau 16,98%. Mayoritas berpendidikan S2 yaitu sebanyak 23 orang atau 43,40%, berpendidikan S1 sebanyak 19 orang atau 35,85%. Hanya 7 orang atau 13,21% yang berpendidikan SMU, serta hanya 1 orang atau 1,89% yang tidak menjawab pendidikan terakhirnya apa. Jumlah pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 23 orang atau 43,40%, terdiri dari PNS Pusat dan PNS Daerah. Kalangan profesi 17 orang atau 32,08%, terdiri dari akuntan, pengacara, dosen dan konsultan. Wiraswasta sebanyak 13 orang atau 24,53%, yang terdiri daripada pedagang, pengusaha, dan pegawai swasta. Mayoritas responden berpenghasilan antara Rp2.000.000,00-Rp4.000.000,00 yaitu sebanyak 26 orang atau 49,06%. 17 orang berpenghasilan antara Rp4.000.001,00-Rp6.000.000,00 yaitu sebanyak 17 orang atau 32,08%,

Sedangkan yang berpengasilan antara Rp6.000.001,00-Rp8.000.000,00 dan di atas Rp8.000.000,00, masing-masing 5 orang atau 9,43%.

Penerapan Zakat sebagai Pengurang Pajak

Patut dicatat bahwa masyarakat adalah pembayar pajak sekaligus pembayar zakat yang baik. Hanya 11,32% saja yang membayar pajak saja atau membayar zakat saja. Sehubungan dengan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, dari Tabel 2 dapat dikemukakan bahwa sebagian besar masyarakat Pamulang (lebih dari 52%) tidak mengetahui bahwa zakat dapat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Masyarakat umumnya mengetahui hal tersebut dari kantor, teman dan seminar ataupun diskusi ilmiah. Hal yang menarik adalah hanya sebagian kecil (9,43%) saja yang mengetahui dari kantor pajak. Sebagian besar masyarakat (77%) mengetahui hal tersebut pada periode 2007-2008, tujuh tahun setelah UU No 17/2000 diundangkan. Alasan utama yang terungkap adalah minimnya informasi atas hal tersebut. Selain itu masyarakat belum memahami ketentuan zakat dapat mengurangi pendapatan kena pajak. Permasalahan lain yang terungkap adalah hanya zakat yang ditunaikan melalui badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disyahkan oleh pemerintah yang dapat dikurangkan atas pendapatan kena pajak, sedangkan di

sisi lain data menunjukkan hanya 7,55% saja masyarakat yang membayar zakat melalui lembagazakat resmi pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut sebagian besar masyarakat menyarankan perlu sosialisasi kembali tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Pengakuntansian Zakat sebagai Pengurang Pajak

Pada bagian sebelumnya terungkap bahwa pemahaman masyarakat atas pajak sebagai

pengurang pendapatan kena pajak sangat rendah. Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa wajib pajak sekaligus wajib zakat kurang mampu menghitung zakat sebagai pengurang pajak. Hanya 28,30% saja yang melakukan penghitungan sendiri dan ternyata 60% memperlakukannya sebagai tax deductable (langsung sebagai pengurang pajak terutang). Padahal UU No 17/2000 dan yang diperbaiki dengan UU No 36/2008 masih memberlakukan zakat sebagai expenses atau zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak.

Sebelum membahas pengakuntasian zakat sebagai pengurang pajak, perlu dikemukan ilustrasi zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak (Perlakuan I) dan zakat sebagai pengurang pajak pendapatan (Perlakuan II). Mengingat kedua hal tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Model ini diambil dari Damanhur (2006).

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa

(1) Sebagian besar pembayar zakat (88,68%) juga pembayar pajak. Lebih dari 52% masyarakat tidak mengetahui bahwa zakat dapat sebagai pengurang penghasilan kena pajak; dan pembayaran zakat cenderung tidak melalui BAZ atau LAZ karena aspek kepercayaan dan

keyakinan.

(2) Dari segi pengakuntansian zakat sebagai pengurang pajak, masyarakat yang memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak, sebagian besar menerapkannya secara keliru, yaitu zakat sebagai pengurang pajak terutang yang sesungguhnya adalah sebagai pengurang pendapatan kena pajak. Akhirnya masyarakat berharap zakat diposisikan sebagai pengurang pajak terutang bukan sebagai beban

(3) Artikel ini merekomendasikan kepada Dirjen Pajak dan BAZ/LAZ agar terus menerus

mensosialisasikan bahwa zakat dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Selain itu

juga berupaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BAZ/LAZ melalui transparansi pengelolaan BAZ/LAZ.

(4) Dirjen Pajak dan BAZ/LAZ diharapkan dapat memberikan penjelasan yang benar tentang teknik pengkuntasian zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Kepada masyarakat melalui LSM, MUI, dan Ormas-ormas Islam agar terus mengupayakan agar zakat tidak sekedar sebagai beban cost/expense deductabel tetapi sebagai sebagai tax deductable misalnya melalui amandemen UU zakat dan KUP.

REFERENSI

Damanhur. (2006). Mewujudkan sistem perpajakan perspektif Islam (Studi kasus sikap masyarakat terhadap pajak pendapatan dan BAZIS di NAD). Prosiding Persidangan Antarbangsa Pembangunan Aceh 26-27 Desember 2006. UKM Bangi.

Hafidhuddin, D. (2006). Zakat untuk kesejahteraan bersama. Diambil 15 September 2007, dari www.budpar.go.id/filedata/3270_1121-ZAKATBAZNAS.pdf.

Hamidiyah, E. (2007). Zakat tak akan kurangi pajak. Diambil 20 Juli 2007, dari www.Republika.co.id.

Harian Seputar Indonesia 8 Oktober 2007. Baznas usulkan zakat sebagai pengurang pajak. www. Pajak.go.id

PIRAC. (2000). Survey potensi dan pola berzakat masyarakat. Diambil 15 April 2008, dari http://www.pirac.org/iteliti.htm.

PIRAC. (2004). Potensi dan perilaku masyarakat dalam berzakat. Survey potensi dan pola berzakat masyarakat tahun 2004-2007. Diambil 15 April 2008, dari http://www.pirac.org/iteliti.htm.

Sumargono, A. (2006). Zakat sebagai substitusi pajak. Tabloid Suara Islam. Edisi 08. SK Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan

Zakat.

UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.

UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

4.

JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, SEPTEMBER 2001

ANALISIS PERANAN MODAL ASING TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Oleh : ( 1 )Agung Nusantara dan ( 2 )Enny Puji Astutik

STIE Stikubank Semarang dan Alumni STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK

Masih tertinggalnya perekonomian Indonesia pada awal orde baru, mendorong pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan pembangunan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Investasi asing bagi Indonesia merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan dalam proses pembangunan di Indonesia.

Dari berbagai penelitian diperoleh kesimpulan yang berbeda-beda mengenai kontribusi investasi asing terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian di arahkan untuk menganalisis kontribusi investasi asing terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan variabel penanaman modal asing), utang luar negeri dan tabungan domestik

.

1. Pendahuluan

Pada awal tahap pembanguan I (Repelita I), Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN. Pendapatan nasional Indonesia sebesar US $ 80 perkapita pada tahun 1971, sedangkan beberapa negara ASEAN sudah mencapai ± US $ 200 per-kapita. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia 1960 – 1970 kurang dari 4% per-tahun. Tingkat pembentukan modal domestik juga sangat rendah, kurang dari 8% dari PDB, dan tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (Basuki dan Sulistyo, 1997: 51).

Selama Pembangunan Jangka Panjang I (PJPT I), utang luar negeri berperan sebagai dana tambahan untuk mempercepat laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia. Selama periode tersebut , pembayaran kembali kewajiban yang terkait dengan utang luar negeri belum dianggap beban bagi perekonomian nasional, karena sebagian besar kewajiban pembayaran utang masih terdiri dari pembayaran bunga pinjaman saja. Sejak 1990, cicilan pokok pinjaman sudah harus mulai dibayar, namun tabungan domestik masih belum memadai, akibatnya total kewajiban menjadi lebih besar dari pinjaman baru. Dengan kata lain, sejak saat itu sudah terjadi transfer negatif modal neto (net negatif resources transfer). Transfer negatif modal neto tersebut dibiayai dari hasil pengetatan konsumsi dalam negeri dan pengetatan pengeluaran pemerintah, sehingga kemampuan keuangan pemerintah untuk membiayai pembangunan prasarana dan investasi sosial menjadi semakin terbatas (Arryman, 1999).

Sebagaimana halnya dengan utang luar negeri, penanaman modal asing (PMA) dan investasi portofolio merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Penanaman modal asing, baik penanaman modal langsung maupun investasi portofolio, diarahkan untuk menggantikan peranan dari utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pertumbuhan dan pembangunan perekonomian Nasional. Peran penanaman modal asing dirasa semakin penting melihat kenyataan bahwa jumlah utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan.

Pada masa Orde Baru, modal asing, khususnya utang luar negeri, secara faktual ditempatkan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan, meskipun secara normatif harus ditempatkan sebagai sumber tambahan. Kenyataan inilah yang menyebabkan bahaya tersembunyi, yang secara inheren melekat pada pola pembangunan yang didorong modal asing. Apabila posisi ketergantungan semakin besar, semakin besar pula resiko terkait yang harus dihadapi oleh sistem ekonomi global dalam bentuk ketergantungan terhadap modal asing, khususnya utang luar negeri (Rachbini, 1995).

3. Ekonomi Makro dan Defisit APBN

June 23, 2009 by Ahmad Erani Yustika | Filed under Jurnal Nasional

Perubahan asumsi makro yang telah ditetapkan pemerintah memang lebih realistis, namun masih terdapat titik kritis yang patut dicemaskan.

Situasi ekonomi terkini tampaknya telah memberikan pijakan yang lebih rasional kepada pemerintah untuk menetapkan perubahan asumsi makro APBN 2009. Dari semua asumsi makro yang telah direncanakan, tampaknya penetapan pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5%, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 11.000, inflasi pada tingkat 6,2%, dan suku bunga SBI (3 bulan) sebesar 7,5% merupakan asumsi yang rasional. Sedangkan harga ICP yang ditetapkan sebesar US$ 45 untuk setiap barrel sepertinya agak optimis. Sungguh pun begitu, dalam kondisi yang penuh tekanan seperti sekarang, asumsi-asumsi APBN tersebut bukan hanya bertujuan meningkatkan kinerja ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah mempertahankan kinerja sebelumnya (sekaligus meningkatkan kualitasnya). Berpijak pada tujuan itu, maka perubahan APBN 2009 harus bisa memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan penduduk.

Konfigurasi Ekonomi Makro Sampai saat ini situasi perekonomian global masih muram, tapi dikarenakan tingkat konsumsi domestik masih relatif terjaga menyebabkan kinerja ekonomi masih bisa tumbuh pada tingkat 5%. Dari sisi permintaan, tingkat pertumbuhan ekonomi sebagian besar akan didonasikan oleh peningkatan konsumsi pemerintah. Pola ini memang mengalami penyimpangan jika dibandingkan dengan kecenderungan tiga tahun terakhir. Tapi, secara agregat konsumsi swasta masih memberikan donasi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan ekspor dan investasi pasti akan mengalami perlambatan dibandingkan 2008. Khusus untuk ekspor, walaupun melambat, dengan adanya stimulus industri, pengalihan pasar, dan penurunan suku bunga SBI di tingkat 7,5 persen diekspektasikan tidak akan mengalami penurunan yang tajam. Implikasinya, pada sisi penawaran, sumbangan sektor industri pengolahan dan jasa terhadap pertumbuhan ekonomi tetap mengalami penurunan. Selanjutnya, tingkat inflasi pada level 6,2% tampaknya juga akan dapat terealisasi. Perhitungan ini sangat ditentukan oleh tingkat harga minyak mentah dunia. Dengan relatif stabilnya harga minyak mentah dunia di kisaran US$ 40/barrel dalam dua bulan terakhir dan diikuti oleh penurunan harga BBM di dalam negeri menyebabkan harga komoditas lain juga ikut anjlok. Sungguh pun begitu, harga BBM yang baru sebenarnya dapat diturunkan lagi jika alasan utamanya harga minyak mentah dunia. Sungguh pun begitu, catatan krusial atas semua asumsi tersebut adalah kemungkinan naiknya harga minyak mentah dunia (ICP). Konflik di Timur Tengah yang tidak bisa dipastikan stabilitasnya menyebabkan pasokan minyak dari daerah itu bisa terganggu. Eksesnya, harga minyak mentah dunia secara perlahan-lahan akan mengalami peningkatan. Lainnya, pemerintah mesti hati-hati terhadap kemungkinan naiknya inflasi akibat “pengeluaran politik” yang besar pada 2009. Oleh karena itu, khusus untuk asumsi harga ICP sebesar US$ 45 per barrel sebaiknya dinaikkan di kisaran US$ 50 - 60/barrel. Apalagi, pada semester II 2009 kemungkinan akan mulai terjadi pemulihan ekonomi sehingga permintaan minyak di pasar global akan meningkat. Perhitungan ini lebih ideal, karena di samping bisa mengantisipasi kenaikan harga minyak, juga dapat mensubstitusi kemungkinan pembengkakan anggaran subsidi BBM. Lebih dari segalanya, semua asumsi makro domestik yang ditetapkan sangat bergantung pada perekonomian global. Sehingga, dengan momentum penurunan kinerja ekonomi global, konsumsi pemerintah dapat dijadikan instrumen untuk meningkatkan kemandirian nasional. Skemanya, selain menggenjot pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah juga harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur strategis (misalnya untuk perluasan eksplorasi minyak dan investasi sektor pertanian).

Defisit anggaran perubahan asumsi makro yang telah ditetapkan pemerintah memang lebih realistis, namun masih terdapat titik kritis yang patut dicemaskan. Secara keseluruhan, baik anggaran pendapatan yang turun sebesar Rp 128 triliun menjadi Rp 857,7 triliun maupun berkurangnya jatah belanja negara menjadi Rp 989,9 triliun, tidak memperkecil defisit APBN. Sebaliknya, dalam APBN perubahan ini, defisit anggaran justru meningkat menjadi Rp 132,1 triliun (2,5% dari PDB). Penetapan defisit ini jelas meninggalkan masalah yang kompleks. Pertama, berdasarkan pola kecenderungan realisasi anggaran dalam beberapa tahun terakhir, anggaran negara tidak terserap 100%. Bahkan sampai semester I tahun fiskal berjalan, anggaran negara kerap kali hanya terealisasi 35%. Dengan begitu, inefektivitas realisasi anggaran belanja negara selalu terjadi secara konsisten. Oleh karena itu, realokasi anggaran negara dengan prinsip tepat dan efektif harus disertakan dalam memperbaiki APBN-P 2009. Kedua, salah satu sumber utama pembiayaan defisit anggaran adalah utang luar negeri. Dalam kalkulasi ini, utang luar negeri diperkirakan sebesar Rp 36,1 triliun. Sebagian besar utang itu memang berasal dari dalam negeri (melalui penerbitan obligasi) dan sebagian lagi dari pinjaman proyek luar negeri. Strategi pembiayaan defisit ini menandakan belum adanya perubahan karakter pemerintah. Krisis ekonomi selalu dijadikan peluang untuk meningkatkan ketergantungan Indonesia kepada asing, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan ini bukan hanya memberikan ekses negatif bagi kelangsungan aktivitas ekonomi saat ini, tetapi juga meninggalkan beban berat di masa mendatang. Padahal, mestinya krisis yang terjadi dapat dijadikan momentum mengurangi ketergantungan kepada asing. Caranya, defisit anggaran dipangkas dan pemerintah mengefektifkan penyerapan anggaran melalui strategi alokasi pengeluaran yang benar. Dengan jalan inilah APBN 2009 dijauhkan dari kebiasaan perburuan rente ekonomi.

5.

ANALISIS KEBUTUHAN PASAR

DAN PREDIKSI PENJUALAN

Oleh: Muis Fauzi Rambe*1 )

Abstrak: Menganalisis kebutuhan pasar merupakan salah satu aktivitas penting bagi perusahaan terutama untuk Bagian Pemasaran. Informasi yang datang dari pasar dijadikan landasan untuk melakukan produksi, berapa produk yang harus disediakan untuk pasar. Dengan melakukan prediksi dari informasi hasil analisis kebutuhan pasar, maka dapat pula diperkirakan tingkat penjualan karet pada masa mendatang, sehingga perusahaan mampu mempersiapkan untuk penjualan yang diramalkan tersebut.

Kata Kunci:Analisis Kebutuhan Pasar, Prediksi Penjualan.

Pendahuluan

Suatu perencanaan yang matang sangat dibutuhkan oleh setiap perusahaan guna dijadikan sebagai acuan bagi derap langkah aktivitas perusahaan. Dengan perencanaan yang matang maka upaya yang dilaksanakan sesudah melalui perhitungan yang cermat mampu mengatasi berbagai kendala yang telah diperhitungkan sebelumnya dengan tindakan-tindakan antisipasi. Perencanaan yang matang didasarkan kepada data dan prediksi yang diperkiriakan cukup tepat. Oleh karena itu prediksi suatu keadaan yang akan dating sangat perlu dilakukan sehingga perusahaan dapat memanfaatkan peluang pasar yang ada dan yang akan muncul pada masa mendatang. Disinilah salah satu peran penting analisis pasar baik untuk masa lalu, masa kini maupun masa mendatang yang didasarkan kepada data yang ada dan prediksi waktu yang akan datang sebagaimana trend yang berkembang di masyrakat/pasar. Produksi yang akan direalisasikan oleh suatu perushaan tidak terlepas dari berbagai perhitungan dan perincian rencan kerja serta dana-dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas tersebut. Dalam hal ini tujuan dari perencanaan produksi dan pengendaliannya adalah mengusahakan agar terdapat keseimbangan, keselarasan, serta keserasian, antara faktor-faktor produksi yang ada dengan peluangpeluang yang dimiliki oleh perusahaan sehingga menimbulkan adanya perkembangan-perkembangan yang menguntungkan bagi perusahaan yang akhirnya akan meningkatkan laba perusahaan.

1. *) H. Muis Fauzi Rambe, SE, MM, adalah Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Prediksi penjualan adalah salah satu bahan informasi yang penting dan mempunyai hubungan yang erat dengan perencanaan produksi. Karena penjualan merupakan titik permulaan yang berguna untuk perencanaaan suatu produksi. Di tengah arus globalisasi perasingan dalam pasar semaikin ketat, perusahaan banyak mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan-tujuannya. Perolehan laba sebagai tujuan pokok digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Kelangsungan hidup tersebut dapat ditentukan oleh kemampuan perusahaan di dalam menjalankan suatu kebijaksanaan dan strategi yang sesuai dengan situasi dan kondisi perusahaan. Salah satunya adalah kebijaksanaan dalam menentukan jumlah produk yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar.

Prediksi dalam Manajemen Pemasaran

Pemasaran adalah salah satu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana suatu produk dapat dipasarkan atau dijual. Untuk meningkatkan efektivitas pemasaran maka diperlukan berbagai upaya terkait, salah satunya adalah penjualan seperti diketahui merupakan salah satu bahan informasi terpenting dalam penyusunan produksi. Untuk itu sebelum perusahaan itu menentukan terlebih dahulu berapa jumlah produksi yang tepat dalam arti tidak mengalami kelebihan ataupun kekurangan, yang didasarkan atas kemampuan penjualan produk oleh perusahaan pada masa yang akan datang perusahaan harus mengadakan sesuatu penjualan yang baik. Tanpa penjualan, perencanaan produksi yang dibuat bisa tidak menguntungkan perusahaan. Prediksi adalah suatu usaha untuk meramalkan keadaan di masa mendatang melalui pengujian keadaan di masa lalu (Handoko, 1993) dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan prediksi adalah suatu usaha yang diharapkan terjadi pada masa yang akan datang. Berkenaan dengan itu maka yang dimaksud dengan penjualan ialah suatu perkiraan atas ciri-ciri kuantitatif dan kualitatif termasuk harga, dari perkembangan pasaran dari suatu produk yang produksi oleh suatu perusahaan, pada suatu jangka waktu tertentu di masa yang akan datang (Assauri, 1993). Beberapa pengertian yang diungkapkan oleh Adisaputro dan Asri (1990) tentang penjualan adalah suatu proyeksi teknis dari pada permintaan langsung potensial untuk waktu terentu dengan berbagai asumsi. Jadi penjualan adalah suatu usaha untuk mengetahui dengan jelas dan tepat mengenai jumlah produk yang akan dijual pada masa yang akan datang berdasarkan pengalaman pada masa yang lalu. Selain itu penjualan merupakan alat bagi menajemen yang dipakai sebagai dasar pengawasan terhadap kegiatan perusahaan secara menyeluruh.

Jenis dan Kegunaan Prediksi Penjualan

Sesuai dengan yang dikemukakan oleh penulis bahwa penjualan mempunyai manfaat atau kegunaan yang besar sekali bagi perusahaan. Dengan adanya penjualan yang sudah ditetapkan, maka produksi dapat dilakukan dengan sebaiknya dalam arti efektif dan efisien. Adapun kegunaan dari penjualan itu menurut pendapat Assauri adalah sebagai

berikut :

1. Untuk menentukan kebijaksanaan dalam persoalan penyusunan anggaran (budgeting) yang meliputi anggaran penjulan, anggaran pembelian, anggaran pengerjaan (manufacturing budget) dan lain sebagainya.

2. Untuk pengawasan dalam persediaan (inventory control). Hal ini karena jika persediaan yang ada terlalu kecil, maka akan mempengaruhi kelancaran dari pada kegiatan produksi. Oleh karena itu, agar supaya persediaan jangan terlalu besar atau kekurangan, maka penjualan dapat dipergunakan sebagai pedoman, terutama dalam melayani bagian produksi. Dalam hal ini hendaknya perlu diusahakan penyeimbangan dengan mengadakan pencicilan dengan (atau dapat mempengaruhi tingkat) persediaan.

3. Untuk membentuk kegiatan perencanaan dan pengawasan produksi. Dengan adanya penjualan maka perusahaan dapat mengetahui kemungknan kegiatannya di kemudian hari, sehingga manajer dapat mengusahakan perbaikan dalam penggunaan peralatan produksinya agar efisien. Disamping itu, dapat pula dihindari penggunaan kerja lembur (overtime) yang lebih besar, yang biasanya memakan biaya yang lebih mahal serta kualitas yang diperoleh tidak sebaik bila dikerjakan dalam jam kerja biasa (reguler time).

4. Untuk memperbaiki semangat kerja para pekerja, karena adanya perencanaan perluasan (ekspansi) perusahaan.

5. Dapat mengurangi banykanya ongkos mulai (start) dan berhenti (stop) karena telah diketahui aktivitas yang akan dijalankan.

6. Merupakan ukuran yang baik untuk mengevaluasi kegiatan salesman dalam melayani penjualan.

7. Berguna untuk mengadakan perencanaan perluasaan perusahaan.

8. Untuk mengurangi atau pengganti produk yang tidak memberikan keuntungan.

9. Untuk pengawasan perbelanjaan (financial control)

10.Untuk penyusunan kebijaksanaan kepegawaian (personal policies) yang lebih efektif dan efisien.

Dari uraian diatas yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa prediksi atau peramalan penjualan memberikan manfaat yang besar pada semua unit bidang perusahaan, terutama bagi :

1. Bidang penjualan, suatu hasil prediksi penjualan yang dilakukan secara terinci akan dapat menampilkan kemampuan perusahaan pada masa yang akan dating dalam menerobos pasar.

2. Bidang produksi, merupakan alat untuk menstabilkan pembagian kerja dan patokan untuk mencapai hasil dengan efisien.

3. Bidang personalia, berguna untuk mencapai penggunaan tenanga kerja yang lebih efektif.

Penyusunan penjualan bagi suatu perusahaan, tidak akan terlepas kaitannya dengan jangka waktu. Dengan kata lain, penjualan hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu saja, sehingga dengan demikian perusahaan akan selalu menyusun penjualan secara berkala. Pembagian penjualan menurut jangka waktu ada dua jenis yaitu:

1. Prediksi penjualan jangka panjang

Penjulan jangka panjang ini akan merupakan prediksi dalam garis besar yang tidak terperinci. Prediksi ini disusun untuk melihat bagaimana gambaran penjualan perusahaan dalam jangka panjang. Strategi perusahaan pada umumnya akan disusun berdasarkan tersebut. Dengan demikian maka manajemen perusahaan akan dapat menentukan langkah kebijaksanaan jangka panjang yang akan diambil guna perkembangan perusahaan. Peramalan ini tidak akan dijadikan pedoman operasi secara langsung melainkan dipergunakan untuk pedoman jangka panjang saja.

2. Penjualan jangka pendek.

Untuk pedoman operasi perusahaan, maka manajemen perusahaan akan mengadakan penyusunan predikat jangka pendek dimana prediksi ini akan disusun secara terperinci sehingga benar-benar akan dapat dijadikan pedoman bagi pelaksanaan operasi perusahaan. Prediksi ini memberikan dasar pada :

− Penyusunan anbggaran penerimaan dan belanja perusahaan.

− Suatu pedoman bagi perencaaan produksi

− Pengawasan terhadap persediaan (stock) barang yang selesai.

− Penentuan kebutuhan di masa yang akan datang terhadap tenaga kerja dan bahan.

− Patokan terhadap masa prestasi akan dinilai.

Prediksi penjualan jangka pendek ini biasa dinyatakan dalam nilai dan satuan fisik yang dibagi menurut jenis hasil produksi, model-model hasil produksi serta para pemakainya.

Daftar Pustaka

Adisaputro, Gunawan dan Asri, Marwan. 1990. Anggaran Perusahaan. Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta.

Assauri, Sofyan. 1993. Manajemen Produksi dan Operasi. LPFE UI. Jakarta. Harding, H.A. 1984. Manajemen Produksi. Bumi Aksara. Jakarta.

Handoko, T. Hani. 1993. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta.

Harsono. 1994. Manajemen Pabrik. Bumi Aksara. Jakarta.

Leavitt, J. Harold. 1986. Psikologi Manajemen. Erlangga. Jakarta.

Sudjanna. 1991. Statistika untuk Ekonomi dan Bisnis. Tarsito. Bandung.